Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
BETAPA pun kita sudah risau dengan kondisi kesehatan Sapardi Djoko Damono (SDD) yang belakangan menurun, tetap saja kepergiannya kemarin pagi tak mudah dipercaya.
Indonesia kehilangan seorang pemikir yang cerlang dan setia sampai mati. Penyair besar yang lahir dari keluarga berdarah seni ini lebih dulu ditinggalkan istrinya, Wardiningsih (2019), dan putranya, Rizky (alumnus Jurusan Sastra Inggris FIB UI) pada 2020, dan meninggalkan seorang putri bernama Ani (alumnus Jurusan Sejarah FIB UI).
Saya tidak sempat diajar langsung oleh SDD, Namun, mengenalnya ketika almarhum mulai mengajar di Fakultas Sastra UI Jurusan Indonesia pada 1973. Dia cepat menjadi guru kepercayaan semua. Ramah membagi pengetahuan. Untuk calon asisten kala itu dia mendorong dan menunjukkan kerja yang selalu saya anggap sangat biasa: tidak bersuara dan tidak pula menakutkan.
DukaMu Abadi ialah pelajaran pertama saya yang men- jadi landasan penelusuran keutamaan puisi SDD. Bapak yang bagai ‘selembar daun melayang jatuh di rumput’ itu teguh berbicara tentang alam, Sang Pencipta, kefanaan, keterpencilan manusia, bumi yang tak bergerak, dan setia dalam ‘Kasih tanpa suara/sewaktu bayang2 kita memanjang/mengabur batas ruang//kitapun bisu tersekat dalam pesona/sewaktu Iapun memanggil-manggil/sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil/di luar cuaca’.
Cara berujar Sapardi Djoko Damono (SDD) hampir selalu sederhana. Sejak awal, saya kenal dalam Sonet: Hei! Jangan Kau Patahkan. Begini dia berkata: ‘Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu/ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua/yang telah mengenal baik, kau tahu,/segala perubahan cuaca.//...//Jangan; saksikan saja dengan teliti/bagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil
diam-diam/membunuhnya dengan hati-hati sekali/dalam kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;/lihat: ia pun terkulai perlahan-lahan/dengan indah sekali, tanpa satu keluhan’.
Kita mungkin bertanya bagaimana mungkin puisi yang biasa-biasa saja, sederhana, dan menolak kernyitan dahi itu bisa merujuk pada seseorang yang disebut pujangga.
Sapardi ialah pengajar di jurusan Sastra Indonesia FSUI (kini FIB UI). Mata kuliah andalannya-–seperti dapat kita lihat dari buku-bukunya dan kesertaannya di berbagai tempat seperti Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa--puisi, sosiologi sastra, sastra bandingan, alih wahana, dan sejarah sastra.
Dia menjadi pembicara di berbagai seminar, memimpin berbagai kepanitiaan sastra dan budaya, menjadi juri di bidang sastra, dan sebagai sastrawan sekaligus kritikus. Pendapatnya diperlukan di berbagai tempat. Selain sempat menjadi
Wakil Dekan hingga Dekan Fakultas Sastra UI, SDD tetap mengajar hingga 2005. Bahkan, setelah pensiun pun ia terus berkarya. Dia memusatkan perhatiannya pada pengajaran di Institut Kesenian Jakarta. Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Karya SDD yang tak boleh dilupakan ialah buku puisi DukaMU Abadi, Mata Pisau, Perahu Kertas, Sihir Hujan, Hujan Bulan Juni, Ayat-Ayat Api, dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?.
Bukan hanya puisi, SDD juga jitu menulis cerpen, seperti Pengarang Telah Mati, Membunuh Orang Gila, Sepasang Sepatu Tua, dan Meng-
hardik Gerimis. Terakhir, novel serialnya yang menarik, seperti Hujan Bulan Juni, Pingkan Melipat Jarak, dan Yang Fana adalah Waktu, tentang kisah kasih muda-mudi berbeda agama dan budaya.
Di semua tulisan SDD, kita menyaksikan kesederhanaannya berujar dan berpikir. Tidak ribet, tetapi ketika yang sederhana itu direnungkan, SDD selalu membahas kehidupan yang luas dan dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, alam, dan sesama. SDD menukik dari sisi yang sangat kecil dan tidak umum di pikiran awam.
Karyanya, Hujan Bulan Juni, demikian relevan dengan kehidupan sehingga dilayarlebarkan. Puisi SDD pun sejak lama didendangkan para mantan mahasiswanya hingga kini.
Dalam menapaki usia 80 tahun, SDD menyadari sastra mau tidak mau akan masuk dalam dunia kapitalisme. Maka itu, SDD bersungguh-sungguh mengikuti perkembangan teknologi hingga menerbitkan sendiri buku-bukunya.
Dia mengedit dan memberi ilustrasi. Dalam tulisannya pada 2020, Sastra dan Teknologi, SDD menganjurkan kita semua agar tidak gentar dengan teknologi bahkan wajib bersahabat dengannya. Katanya, sastra modern cenderung mengejek pembaca yang terbatas pengetahuannya dan tertutup sikapnya.
Satu yang tidak habis saya hargai ialah persahabatan SDD dengan teman sekolahnya, pelukis Jeihan. Bukunya diterbitkan Jeihan. DukaMu Abadi, Kolam, misalnya. SDD sangat karib dengan Jeihan, sekarib dengan alam, rumput, dan bangku di taman.
Pada 1988, SDD mendirikan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia. Dia juga ikut mendirikan Yayasan Lontar yang memperkenalkan karya sastra Indonesia ke dunia dengan menerjemahkannya.
Banyak anugerah yang diterimanya, antara lain Anugerah Puisi Poetra dari Malaysia 1983, hadiah Sastra ASEAN 1986, Anugerah Buku
ASEAN 2018, lifetime achievement award dari FIB UI 2017, dan ini yang istimewa: pada saat penyerahan award ini, SDD menyerahkan sebuah buku besar kepada Profesor Achadiati, gurunya, yang dia sebut sebagai hasil oret-oretan saya. Sedemikian sahajanya.
Demikian sahajanya SDD. Sedemikian tak terkatakan yang juga tak bisa diungkapkannya. Seorang bapak yang tak mungkin menjerit-jerit, berteriak-teriak, mengamuk, memecahkan cermin, dan membakar tempat tidur ini sesungguhnya dalam diam hanya berpesan Tentang Tuhan.
‘Pada pagi hari, Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.
Ia, seperti yang pernah kau katakan, tidak seperti kita sama sekali.
Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah kita kenal.’
Demikianlah SDD berjanji Pada Suatu Hari Nanti.
‘Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau tak akan letih-letihnya kucari’.
Selamat jalan Sapardi. Kami di sini yang menjadi saksi kinerjamu pada Ibu Pertiwi akan melanjutkan citamu. Amin.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), menggelar rangkaian kegiatan strategis dalam rangka penguatan literasi dan sastra, serta revitalisasi bahasa daerah di Jawa Tengah.
Aprinus mencontohkan, beberapa karya yang kandungan SARA, yakni pada novel Salah Asuhan yang pada draf awalnya disebut menyinggung ras Barat (Belanda).
Sastra sebagai suatu ekspresi seni berpeluang mempersoalkan berbagai peristiwa di dunia nyata, salah satunya adalah persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dedikasi Pramoedya Ananta Toer tidak lepas dari berbagai konsekuensi berat, ia harus merasakan pahitnya penjara di tiga rezim berbeda.
Dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa, Pramoedya Ananta Toer adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggagas Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved