Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PERSENTUHAN awal Helianti Hilman dengan khazanah pangan lokal Indonesia dimulai ketika ia menjadi konsultan para petani yang terganjal kasus hukum di berbagai pelosok negeri.
Dalam setiap kunjungan ke berbagai daerah itu, ia sering terpesona dengan cita rasa kuliner lokal yang disuguhkan para petani ini kepadanya.
“Terus mulai kepikiran, ini kalau sampai hilang kan sayang banget ya, karena ini kan barang-barang yang enggak ada di pasaran, adanya hanya di kebun mereka, dan mereka konsumsi sendiri,” ujar perempuan yang hobi masak ini kepada Media Indonesia, pekan lalu.
Helianti yang memang telah lama menaruh minat di bidang kuliner pun langsung mendapatkan dukungan dari sang suami untuk menekuni hal yang selama ini menjadi pasionnya, sembari turut menjadi bagian dari solusi atas masalah para petani yang ia advokasi.
“Suami saya bilang, kalau kamu cuma jadi konsultan, paling ujungujungnya cuma menjadi laporan dan temuan segala macem gitu, terus enggak jadi apa-apa. Kenapa kamu enggak jadi bagian dari solusi aja, jangan ngomong-ngomong doang, harus jadi bagian dari mata rantai,” papar perempuan kelahiran Jember, 9 Maret 1971 ini.
Akhirnya, pada 2009, Helianti pun memantapkan niatnya untuk menghidupkan kembali panganpangan yang terlupakan dari para petani di pelosok Indonesia melalui payung kewirausahaan yang ia dirikan, Javara Indigenous Indonesia.
“Jadi, kalau ditanya latar belakangnya, ya tadinya enggak ada planing sama sekali, kebetulan aja saya diperkenalkan dengan jaringan petani yang masih memelihara tanaman-tanaman pangan lokal yang basisnya ialah keanekaragaman hayati (biodiversitas) di Indonesia, ya,” lanjut CEO Javara tersebut.
Dari situ, para petani kemudian minta tolong ke Helianti agar kekayaan pangan lokal yang mereka punyai ini bisa dipertahankan ke anak cucu. Melalui Javara, Helianti berusaha mengenalkan kembali cita rasa pangan lokal nyaris punah dan terlupakan dari berbagai pelosok negeri kepada para penikmat kuliner.
Menurutnya, jika komoditaskomoditas langka ini bisa masuk ke pasaran, petani dapat terus membudayakan komoditas ini.
“Saya bilang ke para petani ini, ‘Kalau mau sustainable satu-satunya cara, ya harus masuk ke pasar,’ selama konsumen terus mengonsumsi, akan selalu ada insentif untuk terus membudidayakan atau mengonsumsi pangan lokal tersebut,” papar pengusaha wanita yang konsen terhadap isu keanekaragaman pangan ini.
Melalui konsep kolaborasi dengan petani lokal, Helianti ingin membangun kembali proteksi untuk pangan-pangan lokal yang terlupakan di Indonesia. “Javara itu artinya champion atau juara karena kita membawa produk terbaik dari bumi Indonesia,” jelasnya,
Kata dia, produk juara itu bukan hanya karena berkualitas, tetapi juga memiliki unsur pembeda, ada keunikan dan hal spesial yang terkandung di dalamnya. Perempuan yang pernah menjabat sebagai konsultan Bank Dunia dan UNDP di Bangladesh ini mengungkapkan salah satu contoh daya pembeda yang mereka miliki ialah dengan memperkenalkan padi-padi kuno yang merupakan beras-beras
warisan Nusantara.
“Kebanyakan sudah punah dan tidak ada pasarnya. Nah, itu kami munculkan lagi. Jadi di awal pendirian Javara itu, kita keluarkan 24 jenis beras organik dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk beberapa jenis beras kuno yang berwarna-warni. Beras-beras jenis ini justru sangat diminati di pasar ekspor. Pada 2012 kami mulai ekspor beras ke Italia,” imbuh Helianti.
Usaha pengenalan komoditas-komoditas khas Indonesia ini pun tak hanya berhenti pada intensifikasi produksi semata, melalui Javara Helianti pun rutin memberikan pendampingan pada para petani dan perimba mitranya dengan pelatihan-pelatihan sertifikasi produksi
untuk menjamin keamanan pangan (food safety) dan standar kualitasnya.
Biodiversitas pangan
Helianti menyoroti beberapa kebijakan konversi pertanian yang menurutnya merupakan akar masalah dari kepunahan pangan lokal di Indonesia.
Pengusaha wanita jebolan King Collage, University of London ini berpendapat, pola pertanian ‘monoculture’ yang marak diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1970-an sebenarnya tidak cocok dan justru merusak prinsip budidaya berkelanjutan yang telah dipertahankan oleh masyarakat Indonesia selama berabad-abad.
“Sebenarnya kan kearifan lokal di Indonesia kan mengajarkan bahwa yang namanya budi daya yang berkelanjutan itu sifatnya bukan ‘monoculture’ tapi ‘polycrop’, jadi nggak cuma satu jenis tanaman saja. Itu lah yang sebenarnya menjadi sumber kerusakan alam dan tanah kita, karena kita dipaksakan untuk mengikuti pola industri corporate farm yang monoculture,” papar sosiopreneur yang menjadi salah satu eksportir pangan organik di Indonesia.
Bagi Helianti, kearifan lokal yang termanifestasikan dalam adat masyarakat di pelosok Nusantara adalah teladan yang pantas jika kita ingin mencapai kedaulatan pangan.
“Nenek moyang kita itu sangat sadar terkait dengan arti pentingnya biodiversitas ini. Kalau misalnya kita masuk ke hutan, mana ada sih hutan yang monoculture, pasti ada macam-macam tanaman di dalam hutan, inilah pentingnya kita meneladani apa yang diajarkan oleh alam,” ujar pendiri sekolah seniman pangan ini. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved