Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Upaya Mewujudkan Kota tanpa Sampah

Bagus Pradana
02/7/2020 00:10
Upaya Mewujudkan Kota tanpa Sampah
Wilma Chrysanti(Dok. Pribadi)

SAMPAH merupakan permasalah klasik di kota-kota besar. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah timbulan sampah tahun ini mencapai 67,8 juta ton. 

Sekitar 70% dari jumlah itu berasal dari kotakota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Mayoritas timbulan sampah berasal dari sampah rumah tangga yang rutin kita produksi setiap hari.

Mungkinkah kota-kota besar di Indonesia ini bebas dari sampah? Pertanyaan inilah yang kemudian menggerakan Wilma Chrysanti untuk mengagas proyek edukasi lingkungan yang ia beri nama Kota tanpa Sampah pada 2015.

Kota tanpa Sampah ini merupakan inisiasi proyek edukasi lingkungan yang ia gagas bersama sang suami yang merupakan seorang arsitek, Adi Wibowo, dalam naungan studio desain sosial ekologis LabTanya. Misi yang mereka emban ialah menyelesaikan masalah sampah yang ada di sekitar dengan menerapkan prinsip hidup yang ramah lingkungan.

“Kota tanpa Sampah ini merupakan inisiasi saya dan suami di LabTanya sebagai bentuk respons kami terhadap beberapa masalah lingkungan yang sering kami temui seharihari, salah satunya permasalahan sampah ini yang dari tahun ke tahun kok tidak ada penanganan yang serius,” papar Wilma dalam wawancara daring dengan Media Indonesia, Senin (29/6).

Menurut Wilma, ia mulai mengamati dan melacak awal mula sampah-sampah ini hingga ujung pembungan akhirnya. Dia juga mengamati penanganannya seperti apa. “Pokoknya kita lacak semuanya,” ujar dia.

Dari situ, dia paham ternyata permasalahan sampah sangat erat hubungannya dengan pola hidup masyarakat dalam keseharian mereka. “Ternyata ada yang salah dari cara kita memproduksi atau mengon sumsi sesuatu setiap harinya.

Karena, jika cara hidup kita benar, seharusnya sampah yang kita hasilkan akan lebih sedikit, atau bahkan bisa jadi enggak ada sampah yang kita hasilkan,” ungkap perempuan alumnus Jurusan Ekonomi, Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta tersebut.

Wilma dan suami pun kemudian berdiskusi megenai permasalahan itu Pertanyaan besarnya ialah mungkin enggak mewujudkan kota tanpa sampah? Akhirnya, mereka sepakat menjadikannya itu sebagai nama dari salah satu inisiasi program edukasi di LabTanya.

Wilma menilai salah satu akar persoalan dari permasalahan sampah di kota-kota besar di Indonesia ialah rendahnya kesadaran warga-warga yang tinggal di kawasan perkotaan. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman sehingga urusan limbah rumah tangga cukup dengan membayar iuran.

Oleh karena itu, Wilma dan suaminya berupaya mengedukasi masyarakat untuk belajar mengolah sampah, salah satunya dengan metode pengomposan. Pengomposan adalah proses ketika bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikrobamikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.

Sampah terdiri atas dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai 80% sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. 

Kata Wilma, kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya metana ke udara.


Membuat kompos

Salah satu format edukasi yang kemudian diformulasikan Wilma ialah dengan menyelenggarakan workshop mengompos melalui berbagaio komunitas. Kegiatan itu biasanya mereka lakukan sebulan dua kali.

“Alasan utama kenapa kita rutin mengampanyekan kegiatan ini adalah kita ingin belajar dari alam melalui cara yang paling sederhana, yaitu dari aktivitas mengompos. Aktivitas ini memberi gambaran yang gamblang banget tentang bagai mana alam bekerja dan siklus hidupnya yang enggak putus-putus itu. Nah kita sendiri kan adalah bagian dari alam, sudah seharusnya keseharian kita juga selaras dengan alam,” lanjutnya.

Selain itu, kata dia, dengan mempraktikkan mengompos, seseorang juga telah berpartisipasi dalam carbon farming yang sangat penting dalam siklus regenerasi planet ini.  “Tapi yang paling penting dari ngompos itu adalah untuk mengurangi jumlah sampah karena dengan mengompos itu kurang lebih 50% dari sampah harian kita itu bisa dikurangi,” ujar Wilma.

Menurut dia, ada beragam teknik mengompos dan tiap teknik itu menuntut kedisplinan yang berbeda. Jika masyarakat mengetahui berbagai teknik mengompos dan paham akan prinsip dasarnya, mengompos akan menjadi kegiatan yang menarik.

Metode aerob atau pengomposan dengan udara adalah tipe pengomposan yang menurut Wilma cocok diterapkan di perkotaan. Metode ini memiliki keunggulan pada caranya yang sederhana dan tidak terlalu memakan banyak tempat. Bahkan, kata dia, kita juga dapat memanfaatkan barang-barang yang ada di lingkungan sekitar sebagai media komposter, seperti ember bekas dan pot.

Wilma tak menampik bahwa keterbatasan lahan dan waktu yang dimiliki oleh orang-orang di perkotaan sedikit banyak cukup menjadi tantangan tersendiri dalam kegiatan ini. Untuk mengakali permasalahan ini, Wilma biasnya menyarakan menggunakan komposter. “Pada dasarnya mengompos itu mudah kok, yang penting tahu prinsip dasarnya, itu aja sih,” ujarnya.

Dalam setiap workshop, sebisa mungkin Wilma akan memberikan motivasi dan pendampingan penuh terhadap para peserta yang mengalami kesulitan. “Enggak bisa sekali mencoba kemudian langsung jadi. Oleh karena itu, kami di Kota tanpa Sampah selalu mewanti-wanti kalau teman-teman ketemu masalah atau halangan saat mengompos, segera hubungi kami agar dapat kita diskusikan,” imbuhnya.

Menurut Wilma, tidak semua peserta bertahan karena kadang ada yang takut dengan belatung atau tidak tahan dengan bau sampah. “Itu saja sih kendalanya. Padahal jika paham metodenya, tidak semenakutkan itu,” ujarnya tertawa.

Menurut Wilma, jika seseorang telah mahir mengompos, tak perlu waktu lama baginya untuk memanen kompos hasil olahannya. Paling tidak sekitar satu hingga dua bulan sudah siap panen. Pada saat panen kompos ini biasanya para peserta akan memulai bercocok tanam.

“Temen-temen biasanya akan sibuk menyemai bibit, kemudian setelah panen kompos mereka pasti lanjut ke kegiatan bercocok tanam, dan akhirnya mereka belajar bagaimana merawat tanaman itu,” pungkas Wilma. (M-4)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya