Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Hadapi Pandemi, Beli dari Petani Lokal

MI
04/6/2020 00:35
Hadapi Pandemi, Beli dari Petani Lokal
(Dok. Pribadi)

COVID-19 membuka tabir yang selama ini hanya remang. Isu kedaulatan dan ketahanan pangan yang sebelumnya terlihat compang-camping, makin terbuka boroknya. Persoalan distribusi semakin mengemuka dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jika sebelumnya petani masih bisa menjual hasil pertanian, kini produksi mereka terancam tidak terserap pasar.
 
“Pada saat ini banyak sekali, misalnya, petani lokal yang pasarnya dan distribusi hasil pertaniannya terganggu karena pada banyak pasar yang ditutup, sementara kami di sini lagi musim panen melimpah kan jadi petani binggung mau dikemanain,” ujar Dicky Senda.

Pengagas Komunitas Lakoat Kujawas yang berada di Desa Taiftob, Mollo Timor, NTT ini, melalui komunitasnya berusaha memanfaatkan potensi lokal yang ada. Ia pun berinisiatif membantu dengan cara membeli bahan makanan pokok langsung dari petani.

“Akhirnya kami bikin gerakan gimana kalau teman-teman yang mau menyumbang, kita bantu untuk beli langsung dari petani. Jadi, petani juga diuntungkan karena hasil pertaniannya terbeli. Warga yang membutuhkan pangan juga terbantu,” sambungnya.

Tentu hal itu menjadi angin segar. Pasalnya, saat ini sebagian besar bantuan justru dirupakan bahan makanan yang asalnya dari luar daerah, seperti mie instan dan beras. Padahal, hasil panen petani lokal melimpah dan tidak terserap pasar.

“Sekarang lagi panen melimpah, jagung, kemudian ada sayursayuran, kayak wortel, kentang, bawang putih. Itu memang lagi melimpah, tapi memang sayang, pasarnya tidak seaktif sebelum pandemi,” terusnya.
 

Dicky bercerita bahwa saking murahnya harga hasil pertanian, petani lebih memilih untuk makanan ternak. “Kami di sini ada yang saking frustrasinya, wortelnya yang melimpah itu dikasih makan babi. Karena percuma juga dijual dengan Rp2.000/kg, sementara mereka capeknya bagaimana.

Akhirnya mereka pikir, ya sudahlah, dari pada dijual ke pengepul dengan harga murah, buat babi saja,” ujarnya miris. Dicky mencontohkan kentang yang saat ini harganya terjun bebas karena panen melimpah. Harga kentang menjadi Rp10 ribu/kg dari normalnya Rp25 ribu/kg.

Dicky dan komunitasnya menggerakkan agar ada transaksi dari petani lokal. Komunitasnya membeli jagung bose dan hasil panen dari petani lokal, lalu disalurkan kepada warga yang membutuhkan. Jagung bose ialah makanan pokok bagi warga lokal yang diolah dari jagung kering.

Harga jagung bose pun lebih murah jika dibandingkan dengan beras. Jika beras kualitas rendah dibeli seharga 10 ribu/kg, jagung bose dihargai Rp7.000-Rp8.000/kg. Bahkan jika dirupakan jagung kering, akan lebih murah lagi, yakni Rp4.000/kg.

Paket bantuan yang diberikan berisi beberapa bahan pangan, yakni 3 kg jagung bose, ubi jalar, singkong, dan sayur-sayuran. Sayuran bisa berupa wortel, sawi hijau, ataupun buncis. “Yang semuanya kami serap dari petani lokal,” tegasnya.

Bantuan itu disalurkan kepada mereka yang bukan petani. Menurutnya, petani sudah tentu punya sayur sehingga bantuan ditujukan pada buruh, sopir, pekerja harian terdampak, janda miskin, single parent (orang tua tunggal), atau keluarga disabilitas. (Zuq/Bus/M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya