Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PAVILIUN Indonesia dengan karya ‘Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba” telah setengah semester berdiri dan menyambut publik global pada ajang seni rupa tertua dan terkemuka di dunia, Venice Biennale 2019, yang digelar di Venice, Italia.
Pada Vinice Biennale 2009 yang digelar dari 11 Mei hingga 24 November 2019 mendatang, Paviliun Indonesia yang disajikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang bertanggung jawab kepada Presiden Jokowi dengan mengandeng Design+Art Indonesia (YDAI).
Tidak hanya itu, untuk sajian karya seni di paviliun Indonesia yang hadir selama enam bulan, Bekraf mengundang kolaborasi tim artistiik yang terdiri dari Asmudjo Jono Irianto (kurator), Yacobus Ari Respati (ko-Kurator), dan Handiwirman Saputra serta Syagini Ratna Wulan (Seniman).
“Kehadiran Paviliun Indonesia dalam Venice Biennale 2019 adalah sebuah keputusan bersama yang hadir, bukan hanya dari Bekraf dan YDAI saja, melainkan juga dengan segenap pemangku keputusan seni rupa kontemporer Indonesia termasuk para pelaku, pakar, seniman, kurator, serta akademisi,” ujar Kepala Bekraf Triawan Munaf.
“Keputusan bersama inilah yang mendorong kesepakatan untuk mengusung praktik kolaborasi dalam Paviliun Indonesia,” kata Triawan Munaf di Jakarta, Senin (2/9).
“Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019 sekiranya dapat menjadi sebuah momen bagi kita bersama untuk bisa bergandengan tangan lebih kuat lagi dengan berbagai pihak untuk membawa nama baik Indonesia dalam kancah seni rupa kontemporer dunia,” ujar Komisioner Paviliun Indonesia Diana Nazir (YDAI) yang bertindak sebagai Komisioner Paviliun Indonesia 2019 bersama Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik.
Terdiri atas lima komponen karya, paviliun Indonesia mengundang pengunjung untuk berinteraksi dan menelusuri seluruh komponen dengan pendekatan layaknya bermain game. Karya tersebut berangkat dari gagasan dasar tim artistik perihal ketiadaan kerangka dasar atau platform praktik seni rupa kontemporer di Indonesia.
“Ketiadaan kerangka dan kanal ini menyulitkan posisi praktik seni rupa kontemporer dalam masyarakat Indonesia. Dibanding populasi penduduknya, medan seni rupa kontemporer masih sangat kecil di Indonesia,” ujar kurator Asmudjo Jono Irianto
“Jadi kami melihat, seni rupa kontemporer belum menjadi praktik kebudayaan yang berarti dan belum berfungsi secara sosiologis,” tambah Asmudjo.
Dengan dilatari kesadaran mengenai ketiadaan kerangka dan kanal tersebut, tim artistik menyusun narasi seni rupa yang secara generik merefleksikan paradigma seni rupa kontemporer berserta risiko-risikonya.
“Tim artistik kali ini mencoba menampilkan narasi yang berbeda dari tiga paviliun Indonesia yang sebelumnya ada di Venice Biennale. Tim Artistik mencoba menerjemahkan situasi seni rupa kontemporer Indonesia dalam risiko dan relasinya dengan seni rupa kontemporer global. Kami berharap karya yang kami presentasikan ini dapat berdampak luas,” lanjut Asmudjo.
Pada perhelatan Art Jakarta, Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019 berkesempatan untuk berbagi cerita lebih dalam mengenai keikutsertaan Indonesia pada Biennale seni rupa yang telah menyediakan diri sebagai sarana negosiasi berbagai kuasa budaya di dunia tersebut.
Terkait Paviliun Indonesia pada Vinice Biennale 2019, digelar talkshow diadakan di Prefunction Hall A, Jakarta Convention Center, Jakarta, pada Minggu (1/9) pukul 16.00 WIBn. Sebagai narasumber, hadir komisioner Ricky Pesik dan Diana Nazir, kurator Asmudjo Jono Irianto, seniman Syagini Ratna Wulan dan Handiwirman Saputra serta Harry Purwanto dari YDAI menjadi moderator. (OL-09)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved