Kementerian LHK Bantah Tuduhan Greenpeace Soal Deforestasi

Mediaindonesia.com
11/8/2019 12:26
Kementerian LHK Bantah Tuduhan Greenpeace Soal Deforestasi
Pada Asia-Pacific Forestry Week 2019, Menteri LHK Siti Nurbaya berkomitmen lanjutkan moratorium hutan.(MI/Dok.KLHK)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut telah efektif mengurangi angka deforestrasi. Karena itu, deforestasi Indonesia yang memburuk yang dituduhkan Greenpeace dalam pernyataan persnya, tidak mendasar.

Bantahan KLHK  terhadap  pernyataan Greenpeace tersebut disampaikan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono di Jakarta, Minggu (11/8).

Belinda mengungkapkan, laju deforestasi Indonesia sebelum dan sesudah moratorium. Ia mengatakan luas Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB)  adalah 66 juta hektare atau sebesar 35% dari luas daratan Indonesia, dan berada baik di dalam maupun luar kawasan hutan.

"Perlu juga dipahami bahwa di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut dan hutan alam primer. Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savanna, atau pun semak belukar alami. Total areal bertutupan hutan di dalam PIPPIB adalah 52,3 juta hektare, atau 79% dari luas PIPPIB,”papar Belinda, 

Belinda menjelaskan, setelah moratorium diberlakukan pada 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi pada di 2014-2015 karena kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Namun, bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik non-kawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, serta berhutan maupun tidak.

Sebelumnya, Greenpeace melalui pernyataan dari stafnya, Kiki Taufik, mengatakan bahwa deforestasi lebih buruk setelah moratorium. Pernyataan Greenpeace tersebut, kata Belinda, tidak benar karena tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya.

"Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk dasar statement itu. Begitupun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan  interpretasi citra atau apa yang  mereka   lakukan," tegas Belinda.

"Harus jelas rule base  untuk interpretasi citra. Di situlah metodis atau tidaknya sebuah analisis spasial. Tidak sembarangan. KLHK  menggunakan data resmi di bawah sistim pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi suatu sistim pemantauan," ujar Belinda. 

Lebih lanjut dikatakan,  untuk mengetahui efektivitas moratorium, dengan menggunakan periode yang sama, yaitu delapan tahunan atau periode 2003-2010 untuk periode sebelum moratorium dan 2011-2018 untuk periode setelah moratorium. Maka total deforestasi periode sebelum moratorium adalah 7 juta hektare atau+ 0.88 ribu hektare per tahun dan setelah periode moratorium adalah sebesar +5.6 juta hektare atau +0.7 ribu hektare per tahun. 

"Dengan informasi ini maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20%. Sedangkan apabila hanya fokus pada areal moratorium saja (di dalam PIPPIB), analisa yang dilakukan dengan menggunakan sistim pemantauan yang sama, memberikan hasil bahwa terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38%, dari periode 2003-2010 seluas sekitar 1.9 juta hektare sebelum moratorium ke periode berikutnya (2011-2018)," papar Belinda.

Efektivitas moratorium untuk Karhutla

Sementara itu menganai  Karhutla, Belinda mengungkapkan, pada 2019, KLHK tidak hanya melakukan pemantauan menggunakan sebaran dan akumulasi titik panas api atau hot spot sebagai informasi, namun sudah langsung melakukan penghitungan luas. 

Total areal terbakar sampai dengan bulan Juli 2019 adalah kurang lebih 135 ribu hektare. Sebesar 77% dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dan sebagian besar atau 71 ribu dari 135 ribu hektare itu adalah savanah.

Menuru Belinda, kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam PIPPIB bisa ditekan hingga mencapai 0,8% khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99.2% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.

"Bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap Karhutla. Karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang. Bahkan saat ini hingga mencapai 1% dari total areal terbakar," kata Belinda. 

Sebelumnya, terutama pada 2014-2015 yang merupakan tahun El Nino kuat (bencana nasional), total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta hektare, dan 69% dari luas itu terjadi di luar area moratorium (PIPPIB). Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, namun hanya 3% yang terjadi pada areal berhutan.

"Sisanya 97% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan yaitu  lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistim alami tidak berhutan seperti savanna atau semak belukar. Jadi tidak benar yang disampaikan oleh Greenpeace tentang moratorium  dan cenderung tendensius," tegas Belinda. (OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya