INOVASI dan kreativitas sebagai modal untuk menjaga keberadaan Televisi Republik Indonesia (TVRI) dinilai tidak cukup tanpa diikuti dukungan dan keberpihakan pemerintah bahwa lembaga penyiaran yang didirikan pada 1962 itu sebagai milik publik.
Demikian benang merah di diskusi publik bertajuk Penguatan Kelembagaan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, di Jakarta, kemarin. Lembaga penyiaran yang didirikan pemerintah dengan tujuan memberi informasi dan menjaga persatuan bangsa ini sudah saatnya didukung dengan regulasi yang tidak membatasi kreativitas.
Dukungan tersebut dibutuhkan untuk menghadapi serbuan media sosial yang masif saat ini. Pada kenyataannya, TVRI masih terbelenggu berbagai regulasi yang kaku dan membatasi ruang kreativitas.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi Universitas Indonesia, Nina Mutmainah, TVRI kini menghadapi masalah pelik disebabkan regulasi yang membatasi kreativitas. "Kuncinya di regulasi. Padahal, mereka adalah orang-orang kreatif," cetusnya.
Kondisi tersebut, menurut Nina, harus disudahi dengan membuat definis baru tentang lembaga penyiaran publik melalui revisi undang-undang penyiaran. Dukungan konkret pemerintah yang tak kalah pentingnya ialah di bidang keuangan. Dalam pembiayaan, imbuhnya, pemerintah bisa saja menerapkan kembali partisipasi publik dalam bentuk iuran.
Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya, menuturkan, peran pemerintah sangat penting dalam mempertahankan TVRI. "Dukungannya memang ada, tapi tidak penuh, terutama dari sisi anggaran, peralatan, dan sumber daya manusia,"
Diungkapkan Helmy, selain anggaran yang terus menyusut, jumlah sumber daya manusianya pun terus berkurang serta minim SDM muda kreatif. Dalam 10 tahun terakhir TVRI mengalami krisis SDM. "Pada lima tahun ke depan 1.716 pegawai akan pensiun atau hanya 209 pegawai yang jadi roda penggerak TVRI," pungkasnya. (Sru/H-1)