Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

IDI: UU Pendidikan Kedokteran Obral Izin Fakultas Kedokteran

Mediaindonesia.com
22/7/2019 12:45
IDI: UU Pendidikan Kedokteran Obral Izin Fakultas Kedokteran
Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih(MI/Rommy Pujianto)

PENGURUS Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkritik sikap pemerintah yang begitu longgar membuka izin pendidikan kedokteran di perguruan tinggi. Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih dalam keterangan resminya menyebutkan bahwa UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran awalnya ditujukan untuk memperbaiki mutu pendidikan dokter. Namun upaya tersebut bisa terkendala oleh beberapa isu yang memengaruhi mutu pendidikan dokter yang belum terakomodasu pada undang-undang tersebut. Selain hadirnya beberapa pasal subjektif.

"UU No 20 Tahun 2013 belum mengatur mekanisme penghitungan kebutuhan dokter yang melandasi pembukaan dan penutupan pendidikan kedokteran. Sehingga dalam kurun waktu empat tahun terakhir telah terjadi ledakan jumlah fakultas kedokteran. Saat ini bertambah 20 fakultas kedokteran baru," kata Daeng M Faqih, Senin (22/7).

IDI juga menganggap pemerintah belum memiliki instrumen kebijakan untuk mengendalikan jumlah fakultas kedokteran, sehingga lulusannya dapat memenuhi kebutuhan dokter.

Persyaratan dan mekanisme pembukaan fakultas kedokteran yang tertuang pada PP No 521 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran memungkinkan untuk dilakukannya praktik-praktik yang manipulatif, mulai dari penyusunan dokumen, visitasi hingga pemberian izin. Dalam kondisi seperti ini jumlah fakultas kedokteran yang tidak terkendali akan menurunkan mutu pendidikan dokter dan akhirnya mutu lulusan dokter juga turun.

"Di sini ada kecendrungan Pemerintah telah memanfaatkan celah yang ada dalam UU Pendidikan Kedokteran dengan membuka kran Fakultas Kedokteran tanpa seleksi yang baik. Bahkan ada yang tidak divisitasi terlebih dahulu. Oleh karena itu lahirnya UU Pendidikan No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang bermasalah menghasilkan pelayanan kesehatan seperti saat ini" terangnya.

Ketika jumlah fakultas kedokteran merebak tidak terkendali tetap saja distribusi dokter tidak terpenuhi. Derajat kesehatan masyarakat menurun, pembiayaan kesehatan membengkak dan terakhir yang sedang ramai tentang permasalahan moratorium fakultas kedokteran. Padahal Indonesia adalah negara hukum semestinya ada regulasi yang harmonis untuk hal ini.

"UUD Pendidikan Kedokteran 2013 yang banyak kurangnya ini menjadikan Indonesia menjadi negara kekuasaan karena terjadi pembukaan Fakultas Kedokteran melalui lisensi menteri," tambahnya.

IDI menyoroti adanya delapan kelemahan UU Pendidikan Kedokteran karena bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Daeng M Faqih menyebutkan pertama dalam UU tersebut tidak mengatur pembukaan dan penutupan fakultas kedokteran sehingga diduga banyak terjadinya penyimpangan dalam pembukaan fakultas kedokteran baru.

Kedua, pengaturan rumah sakit pendidikan bertentangan dengan kaidah-kaidah pendidikan itu sendiri. Serta bertentangan dengan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional, dan tidak mendukung operasional BPJS Kesehatan.

"Ketiga, di dalam UU Pendidikan Kedokteran tidak ada pasal yang mengatur tentang pengawasan fungsional fakultas kedokteran, sehingga terjadi celah menganga dalam disparitas kualitas pendidikan," tambahnya.

Keempat, UU ini tidak mengakomodasi subsistem pemerataan distribusi dokter di Indonesia, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

"Fakta lapangan menunjukkan ada sekitar 3000 puskesmas  yarg tidak ada dokter padahal produksi dokter telah mencapai 10-13 ribu orang per tahun. Dan kelima UU Pendidikan Kedokteran juga tidak mendukung konsep wilayah."

Adapun keenam, UU Pendidikan Kedokteran tidak sesuai dengan filosofi pendidikan yang dimilliki 3.000 fakultas kedokteran yang terhimpun dalam World Federation of Medical Education.

baca juga: Pengadilan Tipikor Hadirkan Saksi Kunci untuk Sofyan Basir

"Ketujuh, UU ini tidak memperhatikan potensi dan peran serta pemerintah daerah dalam pengembangan fakultas kedokteran. Sehingga pemerintah daerah dan fakultas kedokteran berjalan sendiri-sendiri," lanjut Daeng.

Dan kedelapan adalah pendidikan spesialis tidak diatur dalam UU Penddiikan Kedokteran sehingga menghambat dinamika pengembangan. Menurut IDI, UU Pendidikan Kedokteran ini telah menjadi perhatian BPK dan KPK karena penuh dengan kejanggalan. (OL-3)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya