Belum Ada Pendataan Dampak Ekonomi dari Hasil Riset

Siswantini Suryandari
26/6/2019 09:32
Belum Ada Pendataan Dampak Ekonomi dari Hasil Riset
Rakor Sentra Hak Kekayaan Intelektual yang digelar di Nusa Dua Bali, 25-27 Juni 2019(Humas Ditjen Risbang Kemenristekdikti)

PRESIDEN Joko Widodo pernah menyinggung dalam rapat kabinet 9 April 2019, soal hasil riset dengan anggaran Rp24,9 triliun di tiap kementerian. Hingga kini, pertanyaan Presiden ini belum terjawab.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nurul Taufiqu Rochman menjelaskan selama ini tidak pernah ada data yang ditulis oleh kementerian tentang apa yang diteliti dan dihasilkan serta dampak dari riset tersebut

Menurut salah satu pendiri sekaligus penasehat Nano Center Indonesia ini, sumber-sumber teknologi cukup besar dan dampaknya besar.

"Saya ini pemegang 23 paten. Saya tahu berapa nilai ekonomi dari dampak riset dan inovasi yang telah saya kembangkan karena saya ini orang lapangan. Saya mengerjakan sendiri dan dipakai industri. Sehingga tahu dampak ekonomi saat ditangani industri," terang Nurul yang menjadu salah satu pembicara dalam acara Rapat Koordinasi Sentra HKI di Nusa Dua Bali, Selasa (25/6) malam.

Dia mencontohkan teknologi nano yang ia kembangkan digunakan untuk propolis, dipakai industri.

"Hasil riset dipakai oleh industri ini bisa dilihat dampak ekonominya. Saya tahu omzet perusahaan propolis nano itu Rp60 miliar setahun. Kalau potong pajak, minimal Rp6 miliar masuk ke kas negara. Harusnya semacam itu ditulis menjadi data base sehingga tahu dampak ekonomi dari sebuah riset telah dipatenkan dan dipakai oleh industri," terangnya.

Baca juga: Dana Riset Diusulkan Rp150 Triliun Per Tahun

Jadi, setiap kementerian bisa mendata hasil riset yang dihasilkan dan berapa dampak ekonomi yang dihasilkan. Mulai dari keuntungan secara finansial, penyerapan tenaga kerja dan dampak sosial lainnya.

Untuk itu, lanjut Nurul, pertanyaan Presiden Jokowi sudah bisa dijawab dari anggaran Rp24,9 triliun bisa menghasilkan apa saja dan nilai ekonominya.

Lebih lanjut, Nurul mengatakan inilah pentingnya mematenkan hasil riset karena bisa membawa dampak positif terutama untuk nilai tambah ekonomi.

Dia menyebutkan di arena perdagangan internasional, dari 500 item produk yang diperdagangkan, 80% nya memiliki paten.

"Ini aset tidak berwujud. Kalau hasil riset Indonesia tidak ada yang dipatenkan, atau kecil sekali patennya maka efeknya negara tidak punya pemasukan dari riset paten ini. Akibatnya negara akan tertinggal dari negara lain," ujarnya.

Pada kesempatan sama, pembicara lainnya Kasubdit Valuasi dan Fasilitas Kekayaan Intelektual Kemenristek Dikti Juldin Bahriansyah mengatakan saat ini jumlah paten di Indonesia masih rendah. Sebaliknya jumlah publikasi ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah internasional lebih tinggi dibandingkan paten.

Saat ini paten di Indonesia baru berkisar 2000, sedangkan jurnal ilmiah yang dipublikasi sekitar 30 ribu. Sedangkan di Tiongkok, paten sudah mencapai sekitar 1,2 juta, publikasi ilmiah hanya 50%. Hal sama juga terjadi di Jepang dan Korea Selatan.

"Memang dengan paten ini dampaknya langsung ke masyarakat. Berbeda dengan jurnal ilmiah," terang Juldin.

Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual (HKI) dalam negeri terus digenjot, terutama di perguruan tinggi maupun kelembagaan litbang. Sentra-sentra HKI terus tumbuh dalam dua tahun terakhir. Kemenristekdikti memberikan insentif untuk sentra-sentra HKI baru dengan nilai Rp70 juta per sentra per tahun.

"Bantuan ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kapasitas sentra-sentra HKI dan memfasilitasi pendaftaran paten hingga komersialisasi. Nantinya bisa menjadi center of excellent," harap Zuldin.

Di sinilah peran Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) di perguruan tinggi. Pada kesempatan itu, Rektor Universitas Dhyana Pura Made Nyandra menjelaskan LPPM Dhyana Pura saat ini mengembangkan minyak Catur Wangi, minyak terapi kesehatan.

Adapun bahan baku yang diperoleh berasal dari tanaman herbal yang ditanam penduduk di Desa Catur, Kintamani.

"Kami membeli tanah seluas tiga hektare untuk ditanami tanaman herbal dan dikelola oleh warga desa. Jadi ini kerja sama kampus dengan warga desa," terang Made yang sehari-harinya berprofesi sebagai dokter sekaligus psikriatri menangani kasus pecandu narkoba.

Ternyata minyak Catur Wangi yang dihasilkan warga ini secara komersial memang disukai masyarakat.

"Adanya Sentra HKI di kampus kami, hasil riset 122 tanaman herbal yang dijadikan minyak ini akan diajukan patennya. Manfaat lainnya, Desa Catur Wangi ini akan dijadikan desa wisata herbal," tukas Made

Ia berharap dari hasil pengembangan riset herbal ini bisa diwujudkan untuk salah satu pengobatan medis di rumah sakit.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya