Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DEFISIT BPJS Kesehatan menjadi masalah pelik yang belum teratasi. Semenjak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digulirkan pada 2014, defisit yang dialami BPJS Kesehatan selaku pelaksana program penting itu terus bertambah.
Dari Rp3,3 triliun di 2014 terus membengkak hingga Rp10,98 triliun di tahun lalu. Sejumlah faktor ditengarai jadi pangkal meruginya BPJS Kesehatan. Salah satunya, pengeluaran untuk biaya pengobatan penyakit katastropik yang terus meningkat.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan lebih dari 20% pembiayaan kesehatan yang ditanggung JKN dihabiskan untuk penyakit-penyakit katastropik (berbiaya tinggi).
“Data BPJS Kesehatan 2018 menunjukkan, total pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik sebesar Rp20,4 triliun, paling besar yaitu untuk penyakit jantung Rp10,5 triliun, kanker sebesar Rp3,4 triliun, dan stroke Rp2,5 triliun,” ujarnya pada temu media jelang peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, di Jakarta, Selasa (28/5).
Karenanya, pencegahan penyakit-penyakit tersebut menjadi salah satu kunci upaya mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, pengendalian rokok menjadi poin penting yang semestinya dilakukan secara sungguh-sungguh.
"Rokok merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung koroner, kanker, dan stroke," ujar Direktur Pencegahan dan pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian kesehatan, Cut Putri Arianie, beberapa waktu lalu.
Dalam pengendalian rokok, terang Cut Putri, Kemenkes berada di bagian hilir. Yakni mengedukasi masyarakat untuk tidak merokok dan mengobati orang-orang yang sakit akibat merokok. Tentu saja, tegas dia, langkah di hilir saja tidak cukup. "Diperlukan peran Kemenkeu lewat cukainya, juga Kemendag terkait jualan eceran rokok di warung-warung, lalu Kemenkominfo soal iklannya, serta peran Kemendagri lewat penerapan kawasan tanpa rokok oleh para kepala daerah."
Hal senada diungkapkan Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf. Pembiayaan terbesar oleh BPJS Kesehatan digunakan untuk penyakit-penyakit katastropik. "Ini alasan perlunya pengendalian rokok. Tanpa upaya pengendalian rokok, BPJS Kesehatan tidak bisa berbuat banyak. Kami tetap harus menanggung biaya penyakit-penyakit katastropik," katanya.
Aksesi FCTC
Pemerintah sebetulnya memiliki niatan untuk mengurangi prevalensi perokok. Bahkan dalam dalam RPJMN 2014-2019 disebutkan target menurunkan prevalensi perokok di bawah umur (usia 10-18 tahun) menjadi 5,4% di 2019. Namun alih-alih tercapai, data justru menunjukkan tren sebaliknya. Prevalensi perokok di bawah umur meningkat dari 7,2% (Riskesdas 2013) menjadi 9,1% (Riskesdas 2018). Adapun pada kelompok penduduk 15 tahun ke atas, prevalensi konsumsi tembakau naik dari 33% (2016) menjadi 34% (2018).
"Soal pengendalian rokok, bisa saya katakan bahwa negara belum sepenuhnya hadir," ujar Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari.
Menurutnya, dengan harga rokok yang terbilang murah, iklan rokok yang bebas tayang diberbagai media, dan aksesnya pun begitu mudah hingga rokok bisa dibeli ketengan, upaya menurunkan prevalensi perokok amatlah sulit.
Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyatakan penaikan harga rokok melalui peningkatan cukai rokok merupakan langkah yang sudah terbukti ampuh menurunkan prevalensi perokok di berbagai dunia. Namun, di Indonesia kebijakan itu sulit dilakukan.
"Karena para elit politik baik di eksekutif maupun di legislatif masih menganggap industri rokok sebagai industri yang berkontribusi pada pembangunan, padahal dampak buruk industri ini pada kesehatan masyarakat jauh lebih besar," katanya.
Menurutnya, kontribusi industri industri rokok, pertanian tembakau, dan cengkeh pada perekonomian Indonesia tidak pernah besar, bahkan cenderung terus menurun. Secara bersama-sama, kontribusi ketiganya pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1995, 2000,2005, 2008, dan 2010 ialah 2,18%, 1,74%, 1,64%, 1,49%, dan 1,78% dengan nilai nominal di 2010 sebesar Rp116,33 triliun (Data BPS). “Jadi, perokonomian Indonesia tidak tergantung pada industri rokok,” imbuhnya.
Namun demikian, lanjut Abdillah, pemerintah terkesan memanjakan industri rokok. Contoh mudah, bandingkan antara rokok dan minuman beralkohol. Keduanya sama-sama kena cukai, tapi perlakuannya sangat beda. Minuman beralkohol tidak boleh diiklankan, penjualannya dibatasi, dan harganya mahal karena tarif cukainya yang tinggi. "Tapi tidak demikian dengan rokok. Bahkan, kenaikan cukai rokok tahun ini dibatalkan," cetusnya.
Soal iklan, Abdillah membandingkan rokok dengan produk lain seperti susu formula yang notabene produk bermanfaat. Rokok boleh diiklankan, sementara susu formula tidak boleh. Padahal, iklan rokok mengaburkan persepsi bahaya produk tembakau itu.
Secara terpisah, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Prijo Sidipratomo menyatakan lemahnya pengendalian rokok di Indonesia tidak lepas dari kuatnya intervensi industri rokok terhadap kebijakan dan regulasi pemerintah. Komnas PT mencatat, bentuk intervensi itu antara lain terlihat pada upaya membatalan pasal nikotin sebagai adiktif dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menghilangkan pasal tentang tembakau adalah zat adiktif di UU Nomor 36 Tahun 2012 tentang Kesehatan, mengajukan RUU Pertembakauan, dan menyelundupan ayat rokok kretek dalam UU Kebudayaan.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Prijo kembali menegaskan pentingnya aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Dengan aksesi FCTC, akan ada kebijakan-kebijakan turunan seperti palarangan sepenuhnya iklan dan sponsorship rokok serta penaikan harga rokok.
"Semoga pemerintahan mendatang mampu meninggalkan legacy, aksesi FCTC. Pengendalian rokok tidak hanya menjaga kelangsungan JKN. Lebih dari itu, juga meningkatkan kualitas SDM Indonesia," harapnya. ( (Ind/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved