Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Obat Gratis saja belum Cukup

Eni Kartinah eni
27/3/2019 09:15
Obat Gratis saja belum Cukup
PENANGANAN TUBERKULOSIS INDONESIA: JAKARTA, 13/4 - PENANGANAN TUBERKULOSIS INDONESIA. Seorang petugas tengah memeriksa sampel dahak pasien d(ANTARA/Dhoni Setiawan)

SIANG itu sepulang dari kampus, seperti biasa Brian langsung makan. Saat asyik bersantap, tiba-tiba saja perutnya mual, disusul muntah-muntah. Yang mengejutkan, ada darah yang menyertai muntahannya.

 

Panik, ia pun periksa ke rumah sakit terdekat, RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Di RS itu ia menjalani sejumlah pemeriksaan, termasuk wawancara riwayat penyakit keluarganya. Dahaknya diperiksa, ia juga menjalani rontgen. Esok harinya, pihak RS memberi kabar mengejutkan. Hasil pemeriksaan menyatakan dia terkena tuberkulosis (Tb). Bukan Tb biasa, melainkan Tb yang resisten alias kebal terhadap obat-obatan standar (Tb resisten obat/TbRO).

 

"Ayah saya meninggal karena Tb, dua kakak saya pernah kena TbRO, juga tante saya. Tentu saja, informasi bahwa saya juga kena TbRO bikin kami shocked," tutur Brian, Senin (25/3), saat mengisahkan pengalamannya melawan TbRO.

Diagnosis itu seketika mengubah kehidupan Brian. Setiap pagi jam 9 dari Senin sampai Jumat ia sudah harus tiba di puskesmas. Di sana ia disuntik obat. Lalu di hadapan petugas, ia harus menelan belasan butir obat. "Jumlahnya antara 18-24 butir," katanya.

Selesai suntik dan minum obat dia tak bisa langsung pulang karena efek samping obat membuatnya tak berdaya. Tubuh lemas lunglai, perut mual, kepala pusing, mata silau. "Kalau belum lewat 1 jam dari minum obat saya muntah, saya harus mengulang minum obat-obatan itu, semuanya," imbuh Brian.

Efek samping tersebut baru mereda setelah beberapa jam. Dengan kondisi seperti itu, Brian pun terpaksa tak bisa melanjutkan kuliah.

Singkat cerita, setelah pengobatan selama 19 bulan 10 hari, barulah Brian dinyatakan bebas dari TbRO. "Tepatnya Agustus 2017."

Selama masa pengobatan yang panjang tersebut, lanjutnya, berbagai kepahitan menghampiri, seperti sikap para tetangga yang melihat dia bagai monster. "Kalau lewat dekat saya, mereka tutup hidung takut tertular."

Juga dorongan bunuh diri yang muncul berulang kali. "Sering kalau bangun tidur seperti ada yang bilang, 'Udah, lompat saja dari lantai atas, nanti kan selesai penderitaanmu'. Tapi untungnya saya bisa melewati godaan itu," katanya.

Baca Juga : Butuh Upaya Ekstra Eliminasi Kasus Tb

Mantan pengidap TbRO lainnya, Ulfa Umar, juga mengungkapkan pengalaman serupa. Perempuan asal Cisarua, Bogor, itu harus menjalani pengobatan lebih dari setahun untuk bisa bebas dari penyakit itu. "Saya sampai harus cuti kuliah untuk fokus ke pengobatan. Saya ingat, waktu itu kalau habis minum obat suka jedot-jedotin kepala ke tembok saking pusingnya," tutur dia saat menghadiri workshop Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Stop Tb Partnership Indonesia (STPI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Masalah ekonomi

Pengalaman Brian dan Ulfa itu menunjukkan pengobatan TbRO memang tak mudah. Bagi pasien, biaya pengobatan mungkin tak jadi soal karena sama seperti Tb biasa, pengobatan TbRO juga digratiskan pemerintah. Beberapa pemda juga memberi dana transport untuk berobat bagi pasien.

Namun, ada persoalan lain yang tak bisa diremehkan, yakni kehilangan produktivitas, termasuk kehilangan pekerjaan. "Hampir setiap pasien yang didiagnosis TbRO, pasti kehilangan pekerjaannya. Bayangkan kalau posisinya tulang punggung keluarga. Ini yang sering kami temui di lapangan," ujar Rakhmawati, koordinator pendamping pasien Tb dari Aisyiyah untuk wilayah Yogyakarta, Senin (25/3).

Ia mengisahkan, ada satu keluarga pasien TbRO yang menolak pengobatan. Pertimbangannya, efek samping obat akan membuat pasien, yakni si suami, tidak lagi bisa bekerja. "Mereka masih punya tanggungan utang. Si istri bilang, biarlah bapak tetap bekerja selagi bisa, tidak usah diobati karena kalau diobati khawatirnya malah enggak bisa kerja kena efek samping obat," urainya.

Selain masalah ekonomi, lanjut dia, pasien juga kerap menghadapi diskriminasi dan stigma. Dari keluarga, masyarakat sekitar, bahkan dari orang-orang yang bertugas di bidang kesehatan. Rakhma bercerita, dirinya pernah kesulitan mendapat ambulans untuk mengangkut pasien TbRO dari Kulon Progo ke RSUP Dr Sardjito di Yogyakarta untuk kontrol bulanan.

"Kontrol TbRO hanya bisa dilakukan di RS rujukan. Pihak ambulans menolak karena enggak mau repot harus sterilisasi ambulans setelah mengangkut pasien TbRO. Memang sih TbRO menular, tapi kan ada cara mencegahnya," kata Rakhma.

Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, dr Erlina Burhan SpP(K), menjelaskan kasus TBRO (multidrugs resistant TB/MDR-TB) bisa muncul ketika seorang penderita Tb biasa tidak berobat penuh selama enam bulan sehingga kuman Tb di tubuhnya menjadi kebal obat. Pengidap TbRO bisa menularkan kuman yang kebal obat itu ke orang lain. "Jadi, kepatuhan pasien menjalani pengobatan sampai tuntas sangat penting," ujarnya.

Di Indonesia, WHO memperkirakan setiap tahun ada 842 ribu kasus Tb baru. Sebanyak 23 ribu di antaranya TbRO. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu, mengungkapkan Indonesia menargetkan eliminasi Tb pada 2030. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan target tersebut. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : PKL
Berita Lainnya