Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Anak Dihukum Push-Up, Sekolah Langgar UU Perlindungan Anak

Intan Yunelia
29/1/2019 12:12
Anak Dihukum Push-Up, Sekolah Langgar UU Perlindungan Anak
(MI/MOHAMAD IRFAN )

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam dugaan terjadinya kekerasan di sekolah yang menimpa GNS, siswi sekolah dasar (SD) swasta di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. GNS mengaku dihukum push-up 100 kali oleh pihak sekolah karena belum melunasi uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

"Orangtua GNS tidak punya biaya sehingga belum melunasi biaya pendidikan. Karena hukuman tersebut, GNS, 10, trauma berat hingga tidak mau lagi datang ke sekolah," kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti, Selasa (29/1).

Menurut Retno, apa yang dilakukan pihak sekolah terhadap siswa yang orangtuanya belum melunasi uang SPP itu adalah bentuk kekerasan terhadap anak.  

"Itu bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan fisik dan psikis, berpotensi kuat melanggar pasal 76C UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak," tegas mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Jakarta itu.

Jika push up dilakukan berpuluh kali tanpa mempertimbangkan kondisi anak, hal itu berpotensi menyakiti dan membahayakan anak tersebut.

Baca juga: Trisakti Terus Cetak Generasi Unggul

"Ini masuk kategori kekerasan fisik," tandasnya.

Selain itu, anak juga akan merasa tertekan karena merasa direndahkan dan dipermalukan di lingkungan sekolah karena banyak teman atau guru yang tahu orangtuanya belum bisa melunasi uang SPP.

"Hal ini merupakan bentuk kekerasan psikis," imbuh Retno.

Jadi, kata Retno. sudah sepatutnya sekolah tidak melakukan kekerasan tersebut jika ada anak yang belum membayar SPP.  

Paling utama, anak harus tetap mendapatkan haknya atas pendidikan, seperti mengikuti pembelajaran, ujian, dan sebagainya.

Menurut Retno, jika orangtua belum melunasi SPP, hal itu bukan salah si anak, tetapi itu kewajiban orangtuanya.

"Yang harus dipanggil, ditegur, dan disurati pihak sekolah adalah orangtuanya," ujar mantan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini.

Jika sampai ada perjanjian antara orangtua siswa dengan pihak sekolah saat mendaftar sekolah di tempat tersebut, perjanjian itu juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.

"Sekolah bisa berkomunikasi langsung dengan para orangtua siswa, bukan siswanya yang ditekan dan diperlakukan seperti itu," serunya.

Sekolah, kata Retno, tidak hanya bertugas menagih uang SPP, namun harus mampu mendeteksi keberadaan siswa-siswa yang kurang mampu di sekolahnya. Sehingga, jika ada persoalan kesulitan biaya pada siswa, sekolah dapat membantu mencari solusi bagi pemenuhan hak atas pendidikan terhadap siswa tersebut.

Sekolah bisa berkoordinasi dengan pengawas sekolah dan Dinas Pendidikan setempat agar ada jalan keluar, misalnya membantu memindahkan sang anak ke sekolah negeri terdekat. Mengingat sekolah negeri untuk SD tidak dipungut biaya.

Berbeda dengan sekolah swasta, yang operasional sekolahnya sangat bergantung pada uang SPP siswanya.   

"Selain itu, pihak sekolah juga bisa berkomunikasi dengan para orangtua lainnya melalui komite sekolah, sehingga bisa dicarikan solusi.  Misalnya dengan mencarikan orangtua asuh atau bantuan beberapa orangtua yang mampu melalui program subsidi silang untuk siswa yang orangtuanya kurang mampu secara ekonomi," tutup Retno. (Medcom/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya