Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Guru untuk Digugu dan Ditiru atau Wagu dan Saru

Muhammad Fauzi
26/11/2015 00:00
Guru untuk Digugu dan Ditiru atau Wagu dan Saru
(ANTARA/Yusuf Nugroho)
SETIAP profesi kerap memiliki konotasi ganda. Seperti, ada polisi baik dan ada polisi buruk; hakim baik, hakim buruk; jaksa baik, jaksa buruk; politisi baik, politisi busuk; pengusaha baik, pengusaha hitam; dokter baik, dokter raja tega; menteri baik, menteri antek; dan sebagainya. Demikian juga dengan profesi guru.Penilaian ini dikemukakan Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara, dalam rilisnya, Kamis (26/11).  

Kata guru, jelas Nanang, dalam bahasa Jawa, melekat dua arti yang saling bertentangan. Pertama, guru berarti seseorang yang dapat "digugu" dan "ditiru". Kepada sosok seperti ini, kita sandarkan kepercayaan penuh sekaligus sumber dan inspirasi keteladanan dalam mendidik anak-anak bangsa.

Berapa banyak jumlah sosok guru dalam pengertian pertama itu?  Dan seberapa besar pengaruh kualitas karya sosialnya dalam menginspirasi kehidupan mulia para siswanya, masyarakat, dan bangsa?

Tentu, kita tidak bisa gegabah begitu saja mengandalkan pada data banyaknya jumlah guru yang telah memperoleh sertifikasi untuk dijadikan acuan atas eksistensi keberadaan para guru dalam pengertian pertama itu.

"Sebab, guru dalam pengertian pertama tidak tergantung pada dimiliki-tidaknya sertifikasi guru pada dirinya. Dan belum tentu juga guru bersertifikasi memiliki kualifikasi etik, moral, profesional, dan berkinerja stabil, yang berbasis pada penghayatannya yang  mendalam sebagai sosok yang "digigu" dan "ditiru" para peserta didiknya," papar Nanang.
 
Menurut Nanang, perlu survei mendalam untuk mengetahui keberadaan para figur guru dalam pengertian pertama. Halihwal yang menyertainya, dan sebaran nilai-nilai mulia yang dipancarkan dan ditransformasikan kepada peserta didik dan lingkungan sekitarnya

Kedua, guru dapat berarti pula "wagu dan saru". Yakni seseorang yang perangai, ucapan, dan tindak-tanduknya  tidak pantas, atau tidak elok, selain norak dan memalukan!

Wujud perangai guru dalam pengertian kedua ini bisa bermacam-macam. Dari guru yang gemar menghardik siswa; menganggap siswa sekedar objek pengajaran semata dan bukan subjek berjati diri; serta miskin teknik dan metode ketika berada dalam proses pembelajaran bersama siswa.

Dari guru yang malas berpikir dan bertindak untuk menjadikan sekolah sebagai taman penuh bunga pengetahuan dan surga harapan bagi siswa, di tengah penghasilan guru tetap yang telah meningkat; guru yang merasa profesional dibalik keengganan menperkaya materi pembejaran secara kreatif; guru berkarakter cabul: dan sebagainya.

"Sosok guru yang mana, yang pertama atau yang kedua, yang lebih kuat pengaruhnya atas lahirnya kecenderungan corak mental, perangai, dan karakter kita dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan pada saat ini?," gugas Nanang.

Pertanyaaan ini merupakan pertanyaaan reflektif kita di hari guru 2015 kali yang mengambil tema “Guru Mulia Karena Karya”. Terlebih Presiden Jokowi di Puncak Peringatan Hari Guru acara Puncak Peringatan Hari Guru Nasional 2015 (24/11/2015) di Istora Senayan mengatakan, “Saya sendiri adalah karya dari guru-guru saya, dan kita sendiri adalah karya guru-guru kita,” 

Apalagi ketika seabreg identitas buruk kita sebagai bangsa terus tertoreh hingga saat ini: dari bangsa dengan minat membaca buku yang rendah, bangsa dengan tingkat korupsi yang tinggi, bangsa yang tergadai kemandirian ekonominya karena gemar berutang ugal-ugalan, bangsa yang elitnya mudah disuap sehingga jadi antek kepentingan asing, bangsa dengan wajah sektor perlindungan anak yang buruk, dan sebagainya. (J-4)  



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya