Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
MARAKNYA penyebaran hoaks dan ujaran kebencian secara tidak langsung telah melemahkan sendi-sendi dan harmoni kehidupan sosial, bahkan bernegara kita. Apalagi di era tahun politik, opini akibat hoax dan hate speech makin menjadi-jadi yang membuat pembelahan di masyarakat secara tajam.
"Jika tidak dikelola dengan baik bisa menghancurkan proses demokrasi yang sedang berjalan," ujar Juri Ardiantoro, Ketua Umum Ikatan Alumni (IKA) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ketika membuka seminar 'Memperkuat Media Sebagai Sarana Pendidikan: No Hoax dan Hate Speech' di Jakarta, Selasa (18/12).
Hadir sebagai pembicara Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis, dan praktisi media Rahmat Edi Irawan (Wakil Pemimpin Redaksi Net TV). Sedangkan mantan Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda didapuk sebagai moderator.
Dalam menghadapi maraknya hoaks dan ujaran kebencianh, universitas dan civitas akademika punya tanggung jawab untuk tetap menjaga nalar dan akal budi.
"Karena di perguruan tinggi tempat segala persoalan dikaji dan diuji secara jernih dengan kaidah ilmiah," tutur ketua panitia Edy Budiyarso.
Sedangkan Yuliandre menyebutkan maraknya hoaks dan ujaran kebencian akibat tidak ditopang oleh budaya literasi yang baik. Kondisi ini cukup berbahaya.
"Indonesia masuk kategori negara dengan literasi rendah di dunia," tukar Yuliandre.
KPI sebagai regulator bidang penyiaran pun tidak lepas dari hoaks. Yuliandre mengungkapkan, dalam kasus pelarangan iklan Shopee yang menampilkan bintang K-Pop Blackpink, pihaknya diserang tudingan hanya membolehkan iklan syariah.
"Sampai media asing menanyakan hal ini. Kami jelaskan saja, ini bukan karena ada petisi, tetapi karena kami kaji tidak pantas di jam siaran anak-anak," ungkapnya.
Di sisi lain, Yosep Adi Prasetyo mengamini situasi seperti itu.
"Hoaks dibuat oleh orang pintar, dan disebarkan oleh orang baik tapi bodoh," tegasnya.
Hoaks telah menjungkirbalikan kepercayaan kepada lembaga resmi dan kredibel. Akibatnya situasi distrush terjadi di mana-mana. Inilah yang menjadi tugas berat Dewan Pers untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga pers yang kredibel.
"Lawan kami adalah pers penyebar SARA, penyebar kebencian, dan para buzzer. Ciri hoaks membuat rasa takut, tidak jelas media dan narasumbernya," ujar Stanley, panggilan Adi Prasetyo.
Pengalaman di media mainstream, seperti dikatakan Rahmat Edi Irawan, memang tidak se-power full di masa lalu. Media sosial malah menjadi pesaing utama. Masalahnya, media sosial dipenuhi hoaks.
"Hoaks bagi media adalah informasi yang belum selesai, tetapi keburu disebarluaskan," tandas Rahmat. (RO/O-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved