Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
SEMUA bermula di Cikini, persahabatan tujuh perempuan yang kini memasuki usia senjanya. Perguruan Cikini (Percik) di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat itu menjadi fondasi narasi panjang jalinan pertemanan. Sekolah yang juga dikenal sebagai sekolah elite karena mungkin banyak tokoh memasukkan anaknya bersekolah di sini, termasuk anak-anak Soekarno, Presiden pertama republik ini.
Salah satu anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu karakter dalam persahabatan tujuh perempuan Percik. Pemilik nama asli Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri lahir di pinggiran Kali Code, Yogyakarta, dan mengawali sekolah pertamanya di gazebo Istana Negara, Jakarta. Barulah saat memasuki Sekolah Rakyat (SR), ia masuk Percik, sama seperti kakaknya, Mas Guntur. Mulanya, ia tampak tak begitu senang bersekolah di sana.
Jalinan mula persahabatan berasal dari teman sebangku, Indira Winuri, anak kepala jawatan kantor imigrasi saat itu, Alwi Soetan Osman. Iin, sapaan akrab Indira, yang membuka pergaulan Ega, sapaan akrab kawan-kawannya untuk Megawati, di lingkungan Percik. Kebanyakan murid SR Percik sudah bersekolah di sana sejak TK. Kecuali Megawati, yang membuatnya asing dan canggung dengan pergaulan teman-temannya. Iinlah yang membawanya ke pergaulan yang lebih luas.
Kemudian, bersusulan Megawati mengenal Aurini Trianingsih, anak dari Kepala Pengawas Tanaman Perkebunan di Pabrik Gula, R Soetrisno Gardjisapoetro dan Rr Harni Krismanti. Aurini kemudian lebih dikenal sebagai Si Cempluk, akibat panggilan dari guru menggambarnya, Pak Tono.
Begitu pun saat main ke Istana, Bung Karno memanggilnya Si Cempluk. Namun, kawan-kawannya memanggil Onny, seperti panggilan dari ibunya, yang terinspirasi dari nama seorang bocah Jepang, saat ia memainkan piano pengiring senam.
Peristiwa berdarah
Sosok lain dalam ikatan pertemanan ini ialah Retno Hadiati (Didit), anak pasangan Soemarno dan Armistiani, atau lebih akrab dipanggil Bu Marno. Lima sekawan terdiri dari Amendi Nasution (Mendi), Onny, Didit, Iin, dan Megawati, mengenal Bu Marno dan Pak Marno sebagai pasangan panutan.
Mendi, Onny, dan Didit menjadi akrab dengan Iin dan Megawati saat masuk SMP, seusai peristiwa berdarah Percik pada 30 November 1957, ketika terjadi peristiwa percobaan pembunuhan Soekarno.
Sekelompok pemuda berupaya membunuh Soekarno dalam kunjungannya ke Perguruan Cikini dalam rangka menghadiri perayaan ulang tahun ke-15 sekolah itu. Para pelaku teror menarik pemicu granat dan melemparkannya ke arah presiden yang masih berada di tengah kerumunan anak-anak sekolah. Granat itu menyebabkan sembilan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Beranjak SMA, masuklah Ria ke kelompok lima sekawan. Perempuan yang punya nama lengkap Sri Artaria ini tak lain ialah anak dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang lahir dari pernikahan keduanya dengan Roro Sugiarti, setelah istri pertama wafat.
Masa kecil Ria selalu berpindah-pindah mengikuti sang ayah, sastrawan sekaligus kritikus yang ketika itu berbeda pandangan dengan pemerintah, Soekarno. Di sekolahnya, Ria berkawan karib dengan salah satu putri Soekarno, yakni Megawati Soekarnoputri atau kerap dipanggil Ega.
Masuknya Ria ke persahabatan Megawati, Iin, Didit, Onny, dan Mendi terjalin erat di SMA Percik. Kala itu, Sukarno menerapkan Demokrasi terpimpin, yang seakan-akan sang proklamator berkuasa penuh sehingga membuat STA tidak suka dan kurang sepaham dengan pemerintah.
Bukan karena tidak senang Demokrasi terpimpinnya Soekarno, STA juga menjadi ketua Pengurus Perwakilan Revolusioner Dewan Garuda Sumatra Selatan di Jakarta. Namun, meski kedua bapak ini berbeda pandangan politik, justru anak-anaknya menjalin persahabatan erat.
Megawati memahami karakter Ria yang dianggap aneh kawan-kawannya karena bicaranya yang sering menggunakan bahasa Inggris. Ini disebabkan ia lama tinggal di luar negeri. Ria mungkin sempat jengkel dianggap aneh. Namun, ia justru bisa menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan teman-temannya.
Suatu hari, Megawati pernah mengajukan pernyataan kepada bapaknya, bolehkah ia berteman dengan Ria, anak STA? Soekarno justru bertanya kepada anaknya, mengapa harus dipertanyakan.
Saat menjelang Soekarno lengser pun, Ria ikut dalam gerakan KAMI-KAPI, dengan stelan jaket kuning ala almamaternya, Universitas Indonesia. Mereka menentang pemerintahan Soekarno. Namun, Megawati toh tidak menjauhi Ria, justru ia meleluasakan temannya ini untuk masuk-keluar Istana. Menurut Megawati, keikutsertaan Ria dalam demo sebab ia dalam keadaan galau.
"Mega adalah sahabat dan pendengar yang baik. Saya selalu dibiarkan menginap di Istana kalau sedang banyak hal yang dipikirkan, ujar Ria mengisahkan persahabatannya dengan Megawati dalam buku setebal 256 halaman berjudul Cerita Kecil dari Cikini, yang diluncurkan saat Megawati berulang tahun ke-71, beberapa waktu lalu.
Perkawanan Megawati dan sahabat-sahabatnya terus berlanjut hingga masuk SMA, bahkan bertambah ketika Reni Soerjanti datang. Meski sudah mengenal Megawati ketika SMP, Reni baru menggenapi persahabatan perempuan Percik ini menjadi tujuh sekawan saat SMA. Reni merupakan anak dari legenda Kapolri Hoegeng Imam Santoso.
Masa-masa sulit
Periode paling getir bagi perempuan Presiden pertama Indonesia ini terjadi saat ayahnya ditahan, dan ruang gerak Megawati juga adik-adiknya dibatasi di Istana. Hingga untuk bertemu bapak, susah karena 'ping-pongan' izin dari aparat. Masa ini ialah masa ketika Soeharto mulai menancapkan kuku kekuasannya memasuki era Orde Baru, yang kemudian melengserkan Soekarno sebagai presiden.
"Jangan menangis. Lebih baik kau ikut ibumu, dan bawa adik-adikmu ke sana," begitulah pesan Bung Karno kepada anak keduanya ini saat Megawati sebelumnya minta dicarikan rumah.
Bung Karno tak pernah punya rumah pribadi. Anak-anaknya besar di istana. Saat terusir itulah, Bung Karno tak sanggup mencarikan rumah sebab ia pun dituduh berkorupsi. Megawati pun kemudian tinggal di rumah ibunya, Fatmawati di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ibunya yang sudah keluar dari Istana sejak 1957 ini pun kemudian menjadi tempat berpulang Megawati beserta adik-adiknya, jauh dari kemewahan dan keleluasaan.
Tidak ada barang-barang mewah yang dibawa, termasuk hewan peliharaan kesayangan istri almarhum Taufik Kiemas ini, kucing anggoranya. Waktu memaksa untuk bergegas, tidak ada yang perlu dikemas sebab sang ayah pun berpesan untuk cukup membawa barang yang dibeli sendiri saat pindahan. Saking terdesaknya waktu dan kekalutan kondisi, air mata juga tak boleh jatuh. Megawati paham itu.
"...harus punya joie de vivre, semangat kegembiraan dalam hidup harus selalu ada," ujar Megawati suatu waktu pada salah satu karibnya.
Dari ketujuh perempuan ini, Megawati menjadi patron simpul erat persahabatan. Setiap permasalahan silih berganti menimpa satu sama lain, Megawati hadir sebagai penguat dan pendengar. Ia memiliki keteladanan bagi kawan-kawannya. Ia tak menampakkan kekalutan, meski peristiwa buruk menimpa ayahnya. Justru ia mengirimi Didit surat untuk menguatkan batin dan mentalnya, yang kala itu ayah Didit ditahan pemerintah.
Buku ini digarap empat orang dari berlatar belakang profesi wartawan. Kristin Samah, merupakan mantan wartawan senior, ia sebelumnya menulis beberapa buku parenting, dan biografi, seperti Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi.
Bersama Widiarsi Agustina, yang merupakan editor majalah, Kristin menulis kisah persahabatan ini dari keikutsertaan mereka dalam beberapa pertemuan para karib Percik. Mereka mewawancarai tiap sahabat dan ikut dalam obrolan mereka.
Sementara itu, Ishaq Zubaidi Raqib, yang tergabung menjadi penulis buku ini juga sebelumnya pernah menulis kisah Megawati, Menangis & Tertawa Bersama Rakyat, bersama Kristin.
Mereka memang memiliki latar belakang lekat dengan tulisan tentang Megawati, seperti Megawati dalam Catatan Wartawan: Bukan 'Media Darling' Biasa, yang ditulis Kristin Samah bersama rekan-rekan wartawan. (M-4)
Judul: Cerita Kecil dari Cikini
Penulis: Kristin Samah, Maria Karsia, Widiarsi Agustina, dan Ishaq Zubaedi Raqib
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2018
Tebal: xv+256 halaman
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved