Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
AIR dalam bak penampungan di Desa Patemon, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah itu tak lagi berlimpah, jika biasanya mengalir tak kenal waktu, sore hari itu tak lagi mengucur.
Akibatnya, warga desa berebutan untuk mengambil air yang tersimpan di dalam bak. Mereka tak hanya berhemat jumlah pemakaian untuk mandi, makan, dan minum, tetapi juga untuk bisa diberikan kepada ternak peliharaan.
Namun, anggota Badan Permusyawaratan Desa, Joko Waluyo, juga warga lainnya, menolak terus dikungkung keterbatasan air. Ia bersama kawannya, Kabul, merencanakan pembuatan peraturan desa (perdes) yang mengharuskan warga membuat lubang penampung air hujan kembali ke tanah. Idenya bersambut program Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH Plus).
"Sebelumnya, tiap hari kami harus meminta bantuan dari kabupaten sebanyak lima hingga tujuh tangki per hari. Per tangki itu harganya Rp120 ribu, belum lagi nanti berebut, namanya juga sulit air," kata Joko saat ditemui pada acara Lokakarya Nasional Groundwater Recharge, Kamis (22/3) pada Hari Air Sedunia 2018.
Rintis dan tiru
Pembuatan sumur resapan, prinsipnya mengembalikan air yang diambil manusia ke dalam tanah sekaligus menampung air hujan agar tidak menjadi genangan dan limpasan di pekarangan rumah. Joko dan beberapa warga memberikan contoh, membangun dua lubang berukuran 2 meter x 2 meter x 2 meter itu di pekarangannya.
Pada bagian dasar sumur diberi hamparan kerikil, lalu di atasnya ditutup jerami. Bagian atas lubang kemudian ditutup permanen, menyisakan lubang kecil sebagai jalan air dan katup pembuka untuk membersihkan bagian dalam sumur. Apa yang dilakukan Joko, tidak lantas menular. Namun, penolakan warga dimaknai karena masyarakat masih belum tahu fungsi sumur resapan.
Perdes juga mengatur pembuatan sumur resapan untuuk industri yang melakukan pengambilan air secara masif. Proses penyadaran itu kemudian berwujud 296 sumur resapan, dan hingga 2018 sudah bertambah hingga 320 sumur. Bahkan, kini pihak desa mulai kewalahan menerima permintaan masyarakat untuk pembuatan sumur resapan.
"Saat ini kami nggak lagi kekurangan air, bahkan ada satu sumur kedalaman 37 meter yang tadinya hanya mampu menghidupi satu keluarga dan jika kita pakai di pagi, baru mengeluarkan air lagi nanti sore. Tetapi kini, mampu menghidupi 20 keluarga dengan aliran nonsetop," cerita Joko.
Sumur resapan tersebut mampu menampung air hingga delapan kubik. Nantinya, air limpasan hujan masuk melalui lubang kecil yang mengarahkan ke dalam sumur. Air pun diserap tanah dan pergerakannya bisa ke mana-mana sehingga penerima manfaat tidak hanya warga desa setempat.
Ada keuntungan lain, jika air berasal dari limpasan hujan yang membawa material tanah serta dedaunan masuk ke dalam sumur, bisa menjadi humus dan bisa digunakan untuk kegiatan pertanian. Cara sederhana ini pun bisa dilakukan pada daerah perumahan yang kerap kali tidak memiliki lahan besar seperti di desa. Bisa dibuat pada halaman masjid misalnya, atau teras rumah yang atapnya terbuka.
Dari sumur ke mata air
Jika dahulu mengebor sumur hingga kedalaman 40 meter belum mendapatkan air, kini di kedalaman 12 meter-13 meter sudah bisa ditemukan air. Memang, imbuh Joko, sering sulit diterima akal akibat munculnya sumur resapan warga tak lagi krisis air. Bahkan, mata air Senjoyo di Kota Salatiga ikut mengalami peningkatan debit airnya.
Direktur Utama PDAM Kota Salatiga, Samino, mengakui debit air mata air Senjoyo yang tadinya 800 liter per detik, kini menjadi 1.100 liter per detik.
"Dahulu ada penelitian kalau debit mata air Senjoyo akan berkurang setiap 10 tahun sebanyak 30%. Saya pikir jika isu lingkungan diperhatikan, setiap perusahaan peduli dan mau mengembalikan air yang telah dipakai melalui sumur resapan, persoalan air di Indonesia bisa teratasi," tukas Samino.
Menahan air di Sukacai
Berkah ikhtiar menahan air tanah juga dirasakan di Desa Sukacai, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, banten. Ada mata air Cipicung yang mengalirkan kehidupan yang berkahnya bukan cuma dirasakan warga untuk minum dan keperluan sehari-hari, melainkan juga anak-anak yang tak silih berganti berenang di kolamnya.
Lurah Sukacai, Solihin, memaparkan derasnya mata air berkorelasi dengan 41 sumur resapan.
"Jangan hanya ambil airnya saja, jangan terlena. Kalau enggak dikembalikan ya lama-lama airnya bisa habis."
Solihin optimistis, sumur resapan bisa diadopsi hingga ke tingkat provinsi. "Saat musim kemarau, air yang dihasilkan dari dua mata air di desanya sangat besar, karena itu saat musim hujan harus dipanen sebanyak-banyaknya."
Senior Raw Water Specialist IUWASH PLUS, Asep Mulyana, mengatakan terdapat kajian, Pulau Jawa, merupakan satu wilayah yang rentan dengan krisis air lantaran 65% penduduk Indonesia tinggal di sana.
"Pengambilan air dari dalam tanah itu sah sepanjang dikembalikan lagi. Caranya, membuat sumur resapan, biayanya sekitar Rp3 juta untuk membuat kapasitas 2 meter x 2 meter x 2 meter. Ukuran bisa disesuaikan dengan lahan yang ada, prinsipnya menabung air sehingga tetap terjaga, memang tidak bisa menggantikan air tanah dalam. Peraturan terus dibuat tetapi jangan lupakan aksi kecil, itu yang bisa menyelamatkan," kata Asep.
Hampir separuh mata air lenyap
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yuliarto Joko Putranto, mengatakan dalam satu dasawarsa, ada sekitar 20%-40% mata air di Indonesia mengering bahkan hilang. Proses konservasi dan mengembalikan air ke dalam tanah pun sudah dijalankan pihaknya, dengan fokus utama pada 15 DAS seperti di Musi, Riau, Way Sekampung, hingga Limboto.
Indonesia, kata Yuliarto, memiliki 17 ribu daerah aliran sungai yang 2.400 di antaranya dinyatakan kritis dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. "Total sumur resapan yang sudah kami bangun ada 11 ribu dan tersebar pada 15 DAS prioritas kami. Saat ini faktor perubahan iklim menjadi salah satu pemantik semakin mencuat dan pedulinya kita terhadap lingkungan. Dampak besar mulai kita rasakan, karena itu mitigasi sesegera mungkin dilakukan," imbuh Yuliarto. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved