Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
DI antara kesibukan persiapan Natal di Gereja Katedral pada Kamis (21/12), tampak sosok yang sudah sangat dikenal, tidak hanya di lingkungan gereja, tetapi juga dalam forum-forum lintas agama dan keberagaman nasional. Dialah Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang juga Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo.
Di antara kegiatannya meninjau kesiapan teknis itu, Ignatius menyempatkan berbincang dengan Media Indonesia di Wisma Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Kondisi intoleransi yang membayangi bangsa dan perpolitikan yang kian panas tidak luput dari perhatiannya. Maka, dalam memaknai pesan Natal tahun ini, Ignatius pun mengkorelasikan dengan pentingnya merawat Pancasila. Berikut penuturan lengkapnya, termasuk pandangan soal politisasi agama dan juga bentuk perayaan natal di tempat terbuka:
Apa sebenarnya makna dari pesan Natal 2017 dan bagaimana masyarakat harus mengorelasikan dengan situasi saat ini?
Setiap tahun, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja di Indonesia (KWI) menulis pesan bersama. Judulnya mengutip salah satu ayat Alkitab “Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu!” (Kol 3:15a). Tentu ayat itu tidak bisa dipahami kalau hanya sekadar satu ayat, tapi harus diperhatikan konteks ayat itu. Di dalam konteks dari bagian Alkitab itu sebetulnya judulnya ialah manusia baru.
Manusia baru dalam arti ini adalah cara berpikir lama yang buruk-buruk ditinggalkan dan ditanggalkan. Ketika hidupnya diperbarui, pada gilirannya dia akan memperbarui. Menjadi agen agen pembaru dalam keluarga, dalam masyarakat, dan di mana pun dia berada dengan posisi, tugas, dan jabatan apa pun.
Apa yang harus dilakukan untuk menjadi manusia baru?
Tentu ini ialah bisa dilihat dari dua segi. Pertama, tentu dari segi iman. Kita membiarkan Yesus itu hidup menjadi ‘teladan’ bagi hidup. Kita mencoba untuk menghidupi keutamaan-keutamaannya. Yang tadinya penghujat, yang tadinya penganiaya, menjadi pembawa kabar sukacita, pembawa kabar damai.
Namun, tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia itu dengan sendirinya akan menjadi seperti itu (pembawa damai). Karena wataknya berbeda-beda, pendidikannya berbeda-beda, pengalaman hidupnya berbeda-beda. Maka dari segi kemanusiaan, kita juga harus menjadi manusiawi. Maka prosesnya akan menjadi begini. Pertama, homoisasi. Jadi pertama-tama harus menjadi manusia. Itu kebutuhan yang paling dasar, misalnya kesehatan, dan makanan.
Proses yang kedua ialah humanisasi. Manusia itu tidak begitu saja manusiawi. Dia harus menjadi semakin manusiawi dengan pendidikan, dengan membangun karakter, dengan membangun watak dan sebagainya.
Namun, dalam iman kristiani itu masih ada satu, yaitu divinisasi. Dari kata devine, Ilahi. Jadi, dalam iman kristiani kecuali menjadi semakin manusiawi, dengan rahmat tuhan, manusia menjadi semakin Ilahi. Semakin secitra dengan Allah. Itu manusia baru. Konsepnya seperti itu.
Di dalam konteks Indonesia ini, konteksnya luas sekali. Misalnya kita omong tentang korupsi, narkoba. Itu semua menjadi keprihatinan kita. Namun, yang diberi perhatian pokok oleh KWI dan PGI adalah kesepakatan dasar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Rupa-rupanya disadari atau diberi kesan bahwa kesepakatan (Pancasila) ini diguncang-guncang atau dengan sengaja guncang. Oleh karena itu, dikaitkanlah pesan Natal ketika manusia kristiani menjadi manusia baru maka semestinya pula melibatkan diri di dalam merawat, menjaga, dan menggembangkan kesepatakan dasar bangsa ini. Itu intinya.
Bagaimana Anda melihat kondisi Indonesia saat ini?
Saya berbicara sebagai Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Sejak 2010, sebetulnya kami sudah melihat ada gejala-gejala yang kurang bagus di negeri kita, berkaitan dengan Pancasila. Pancasila tidak pernah diucapkan lagi. Mungkin alasannya karena dulu pernah Pancasila itu dijadikan alat, dimanupulasikan sebagai alat kekuasaan.
Pada 2016, kami semakin sadar menggenai terjadinya politisasi segala macam hal, termasuk politisasi agama. Sehingga pada 2016, Keuskupan Agung Jakarta yang meliputi DKI, Tangerang, Bekasi itu memutuskan selama lima tahun, 2016-2020 kita ingin mengembangkan penghayatan Pancasila sehingga sejak tahun lalu sampai 2020 nanti, semboyan Gereja KAJ adalah amalkan Pancasila.
Bisa lebih diperjelas tentang semboyan tersebut?
Sila-sila itu dikupas. Jadi Pancasila itu kan ideologi. Kalau tetap ideologi kan tidak ada perubahan. Maka keyakinan kami, ideologi itu harus diterjemahkan menjadi gagasan. Gagasan itu harus diterjemahkan menjadi gerakan. Gerakan itu kalau terjadi berulang-ulang akan menjadi habitus, orientasi, komitmen yang jelas yang akan menghasilkan transformasi sosial. Itu menjadi sangat konkret. Jadi misalnya untuk mengamalkan Pancasila 2016, umat Katolik di KAJ membuat yang namanya rosario merah-putih. Jadi warnanya itu merah-putih sehingga ketika mereka berdoa rosario, mereka ingat tidak hanya berdoa untuk diri sendiri, untuk keluarga. Ingat ujub negara. Ingat ujub bangsa. Kalau internal Gereja Katolik sendiri untuk persatuan sendiri misalnya, kami yakin bahwa yang namanya persatuan itu bukan sekadar usaha manusia, melainkan rahmat tuhan. Maka harus dimohon, harus diminta, dan harus didoakan.
Bagaimana KWI memandang politisasi agama?
Ya jelas. Namanya saja politisasi agama. Agama dijadikan alat. Ini bukan hakikatnya. Saya membedakan politik dan politiking. Politik itu apa pun, maksudnya, arahnya jelas. Politik dalam arti yang baik. Arahnya adalah kebaikan umum, bonum komune, untuk kebaikan seluruh bangsa, seluruh masyarakat. Politiking itu main-main politik. Politik demi kekuasaan. Yang kita lihat sehari-hari di surat kabar, televisi, atau di mana pun. Itu politiking bagi saya, bukan politik.
Agama mestinya diatas segala-galanya. Kalau agama dijadikan alat politik itu sebetulnya, maaf ya, sangat buruk bagi agama sendiri. Direndahkan.
Jadi apakah yang berkenaan dengan intoleransi sebenarnya tidak melakukan konsensus dasar, dalam hal ini Pancasila. Apakah seperti itu?
Itu tadi rumusan lebih negatif. Mungkin saya merumuskannya lebih positif ya. Saya sekali lagi berbicara atas nama KAJ. Kami mengajak seluruh umat Katolik KAJ, intinya adalah untuk memikul tanggung jawab sejarah. Sejarah kita salah satu muaranya ialah Pancasila. Oleh karena itu, mari kita amalkan Pancasila, kesepakatan dasar bangsa. Kita rawat. Kita jaga. Kita kembangkan. Kita amalkan.
Bagaimana pendapat tentang perayaan Natal di tempat terbuka, seperti di Monas seperti yang direncanakan Pemprov DKI Jakarta?
Sebetulnya kalau saya boleh jujur. KAJ memang sengaja diam untuk tidak menambah gaduh. Karena tafsiran berseliweran ke mana-mana dengan berbagai macam tafsirannya yang belum tentu betul. Saya itu kabarnya saja belum dapat. Jadi sebagai lembaga resmi gereja Katolik di wilayah DKI, pemberitahuan resmi, undangan resmi itu tidak ada. Lah bagaimana saya harus bersikap.
Soal perayaan Natal Nasional yang biasanya dihadiri oleh Presiden, memang selalu diadakan di Jakarta sebelum Presiden Jokowi. Namun, sejak Presiden Jokowi, idenya beliau itu kan bukan main. Indonesia itu bukan Jakarta dan Jakarta itu bukan Indonesia. Maka Natal Nasional dilaksanakan di Papua, kemudian di Kupang, kemudian di Medan, kemudian yang akan datang di Pontianak. Itu kan ide yang sangat bagus.
Namun, kalau yang di Monas itu, dalam tradisi Katolik tidak ada. Maka saya tidak bisa mengatakan apa-apa. Ya silakan saja umat Katolik kalau mau hadir, hadirlah. Namun, gereja sebagai lembaga resmi Katolik tidak akan mengorganisasi itu. Saya berpikirnya sesederhana itu. Karena tidak ingin masalah ini dijadikan segala macam isu yang tidak tau jluntrung-nya (arah). Namun, pertanyaan dasar saya, Monas itu mau dijadikan simbol apa?
Soal kondisi global, bagaimana KWI dan KAJ tentang status Jerusalem?
Kalau sikap KWI, Gereja Katolik, itu sederhana sekali. Paus kan sudah bicara. Ya sudah itu diikuti. Jadi taat kepada PBB. Paus itu mengakui Palestina lo. Namun, menurut saya sangat penting adalah yang disampaikan pimpinan lintas agama di Kantor PBNU beberapa waktu lalu. Ini bukan masalah agama. Ini ialah masalah kemanusiaan. Itu tadi agama dan politik, agama yang dipolitisasi. Persis. Bahayanya masyarakat kita di situ. Karena agama itu paling gampang dibakar. Maka orang yang mau mencapai sesuatu dengan cara itu ya paling gampang. Namun, menurut saya sungguh paling tidak etis. Menodai agama sebetulnya.
Apakah yang terakhir tadi adalah juga pesan Anda tentang agama dan politik, ataupun politisasi agama?
Sebagai inspirasi (lebih tepatnya). Jadi istilah dalam teologi Katolik, ada indikasi iman dan imperative moral. Jadi ketika orang beriman bagaimana iman itu diungkapkan dalam doa, ibadah. Namun, tidak hanya di situ saja, bagaimana iman itu diwujudkan. Dua kata itu, mengungkapkan dan mewujudkan. Tidak cukup bagi orang beriman dan beragama, untuk beribadah di tempat ibadah. Dia harus mewujudkan iman itu di dalam tindakan yang berbagai macam, termasuk dalam politik. Politik itu harusnya cita-citanya satu, kebaikan seluruh umat manusia. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved