Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Jakarta dan Menciutnya Keanekaragaman Hayati

04/11/2017 10:45
Jakarta dan Menciutnya Keanekaragaman Hayati
(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

ADY Kristianto masih ingat nyaringnya kicauan burung kacamata dan cipoh kacat di taman-taman Kota Jakarta.

Namun, suasana menyenangkan yang kerap ia temui saban pagi pagi dan sore hari itu sudah berlalu sekitar 6 tahun lalu.

Kini, pegiat lingkungan tersebut sudah tidak lagi menemui nyanyian alam yang indah itu walau masih kerap menyambangi taman-taman.

"Wah kalau sekarang sudah sulit, bahkan hampir tidak pernah menemukan burung-burung itu lagi di taman kota seperti taman Monas, Suropati, Langsat, dan lainnya," tutur Ady dalam acara diskusi Jakarta Bio Marking yang digelar WWF Indonesia di Jakarta, Sabtu (28/10).

Ady menilai hilangnya burung-burung itu juga akibat tingginya penangkapan.

Berdasarkan pengakuan pemburu burung yang berhasil ia temui pada 2013, Ady mendapatkan informasi perburuan untuk dijualbelikan itu bisa mendapatkan hingga 50 ekor burung per bulan.

Dengan demikian, ada sekitar 600 burung yang hilang dari habitat mereka di Jakarta dalam setahun.

Bukan hanya karena perburuan, menciutnya keanekaragaman hayati di Jakarta juga akibat dampak lingkungan dari derap pembangunan.

Tingginya pencemaran di teluk dan perairan sekitar Jakarta, misalnya, diyakininya berkontribusi pada turunnya populasi elang bondol.

Hewan yang merupakan maskot DKI Jakarta itu biasa mencari makan di kawasan teluk dan laut.

Dengan buruknya kualitas perairan, ketersediaan pangan pun menipis.

"Selain dua burung itu, spesies lain yang menjadi maskot DKI Jakarta yakni elang bondol juga sudah hampir tidak bisa ditemui lagi karena perburuan, pembangunan, serta pencemaran yang tinggi," sambungnya.

Saat ini, Ady memperkirakan tinggal tersisa 157 jenis burung dari total 256 jenis yang semula ada di Jakarta.

"Yang menghilang lutung dan kucing bakau," tambahnya soal mamalia yang kini sulit ditemui.

Sementara itu, keanekaragaman hayati yang masih bisa ditemukan di taman dan hutan kota di Jakarta ialah 10 jenis amfibi dan lebih dari 50 jenis kupu-kupu.

Di Sungai Ciliwung sendiri masih banyak ditemukan berang-berang yang hidup dalam lubang-lubang tanah bantaran sungai.

Namun, ironisnya, sekitar 92% ikan di Sungai Ciliwung habis.

Fauna lainnya yang masih bisa ditemukan yakni 46 jenis capung, reptil sekitar 30 jenis seperti ular, kadal, cicak, dan biawak.

Satwa yang hidup di sekitar penduduk yakni nyamuk, semut yang berjumlah sekitar 30 jenis dan jenis tikus serta lebah.

Kebijakan pemerintah
Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan kebijakan pemerintah kota selama ini masih mengabaikan flora dan fauna dan lebih mementingkan bisnis semata sehingga tak aneh jika semakin sulit menemukan keanekaragaman hayati di Jakarta.

"Pemahamannya kalau kota itu manusia dan kendaraan, pembangunan yang dilakukan konsen dua itu. Tidak ada selama kebijakan pembangunan kota mengarah melestarikan alam dan flora fauna agar berkembang," kata pria yang akrab disapa Yudi ini.

Pembangunan infrastruktur di Jakarta sendiri disebut Yoga sudah menebang sekitar 3.000 pohon untuk berbagai kepentingan seperti pembangunan moda raya terpadu (MRT) dan light rail transit (LRT).

"Di kawasan Kuningan sampai Sudirman ada 2.500 pohon ditebang. Thamrin itu sekitar 500 pohon dan tak sampai setahun lebih dari 3.000 pohon ditebangi secara sistematis dilakukan pemerintah daerah atas nama pembangunan," cetusnya.

Menurutnya, komitmen pemkot mengembangkan ruang terbuka hijau (RTH) masih sangat minim.

Hal tersebut diperkuat dengan data bahwa Jakarta berada di posisi 57 kota sehat dari 60 kota besar di dunia.

"Nomor satu kota sehat di Tokyo, kedua Singapura. Kenapa bisa kota sehat karena kita bicara ruang terbuka hijau. Di Singapura saja 39% ruang terbuka hijau," ungkapnya.

Untuk di Jakarta, ruang terbuka hijau masih bisa ditemukan di wilayah Menteng dan Kebayoran Baru.

Karena itulah kualitas udara di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan lebih bagus ketimbang di berbagai daerah lainnya.

Peranan penting
WWF Indonesia juga sepakat tentang kian menciutnya keanekaragaman hayati di Jakarta.

"Iya, memang saat ini populasinya sudah terancam karena habitatnya yang berkurang. Faktor penyebabnya ialah polusi tanah air dan udara serta ancaman yang lain yakni perdagangan satwa langka," tutur Primayunta, Supporter Engagement Cordinator WWF Indonesia.

Menurut Prima, maraknya perdagangan satwa langka itu disebabkan tingginya permintaan dan memiliki nilai ekonomi karena semakin sulitnya menemukan spesies-spesies tersebut, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta.

"Selain karena habibatanya yang menipis, manusia kerap memburu untuk diperdagangkan sehingga kesadaran masyrakat soal hewan langka sangatlah penting," sambungnya.

Padahal, spesies tersebut memiliki peranan penting terhadap lingkungan dan ekosistem, khususnya di Jakarta yang perbandingan antara pembangunan dan kelestarian lingkungannya tidak sebanding.

"Karena spesies tersebut memegang peranan penting dalam ekosistem, yaitu sebagai perantara penyerbukan, penyebar biji dan sebagai top predator. Semua itu untuk kelestarian alam dan lingkungan," tuturnya.

Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan WWF Indonesia untuk terus menjaga keanekaragaman hayati yang tersisa di Jakarta, di antaranya dengan berprilaku ramah terhadap lingkungan dengan melakukan langkah gaya hidup hijau.

"Selain itu, kami tak pernah berhenti mengajak masyarakat untuk bergabung dengan para relawan lingkungan baik yang diiinisiasi WWF maupun komunitas lain sehingga bisa secara langsung berkontribusi dan merasakan bagaimana cara melestarikan lingkungan," pungkas Prima. (Rio/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya