Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Tiga Dara Oka Rusmini

Retno Hemawati
10/6/2017 03:45
Tiga Dara Oka Rusmini
(Seno)

BERTUTUR tentang perempuan Bali, Oka Rusmini merupakan penulis yang sangat tepat. Meski lahir di Jakarta, dia telah lama menetap di Bali. Ia menjadi jurnalis yang kesehariannya masih meliput berbagai peristiwa dan menjadi ibu rumah tangga dengan seorang anak dan seorang suami. Dari situ, dengan banyak peristiwa, pengendapan, dan perenungan, dia telah menghasilkan banyak tulisan yang bercerita tentang keindahan Pulau Dewata lengkap dengan segala produk budaya termasuk tradisi di dalamnya.

Tradisi yang dijunjung sekaligus didobrak orang-orang yang bergelung di dalamnya. Penulis novel, puisi, sekaligus cerita pendek itu baru-baru ini melahirkan kembali tiga novel lama yang kemudian disebutnya sebagai tiga dara. Novel itu ialah Sagra (2001), Kenanga (2003), dan Tempurung (2010). Bagi Oka, ketiganya bagaikan tiga anak gadis yang lahir dari rahim pemikirannya.

Mengapa disebutnya tiga dara? Semata-mata karena tiga buku ini bicara tentang perempuan dengan beragam persoalannya. Ketiganya sudah dicetak ulang dengan berbagai sampul berbeda meski secara konten tidak berubah. Ketiganya dilahirkan kembali pada April 2017 sekaligus untuk merayakan 50 tahun penulis. Oka lahir di Jakarta, 11 Juli 1967.
Baik Sagra, Kenanga, maupun Tempurung dipilih Grasindo untuk diterbitkan kembali karena ada kesamaan isu besar, yakni persoalan perempuan.

Apa yang dituturkan Oka tidak semata-mata perempuan Bali meskipun keseluruhan bercerita tentang mereka. Dia mengkritisi persoalan perempuan pada umumnya.
Dia tidak juga mengkritisi sistem kasta di Bali, tetapi justru budaya yang layak dibenturkan dengan budaya lain termasuk agama dan aturan sosial yang bekerja di dalamnya. Penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa melalui karyanya, Saiban, itu lebih menitikberatkan bagaimana aturan sosial merenggut dan memeras kebebasan perempuan.

Oka dalam pemikirannya melalui karya bukanlah seorang perempuan yang patuh tradisi. Dia menuturkan hal-hal yang selama ini dipercaya dan dihormati penduduk Bali, tetapi kemudian dituturkan adanya semacam 'perjuangan' emansipasi untuk menggantikan kata pemberontakan. Hal yang sama seperti di tradisi mana pun, tradisi yang ketika didobrak hasilnya ialah rahasia atau aib. Oka menuturkan secara blakblakan.

Dalam Sagra, misalnya, Oka menuturkan soal kemiskinan. Dia menuturkan seorang gadis kecil bernama Nobelia yang 'mengunyah' esensi makanan agar merasa kenyang. Ini adalah sebuah sindiran.

Keindahan perempuan
Penulis yang pernah diundang di Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda, dan menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman, itu pun tidak sungkan untuk berbicara tentang erotisme dan seks. Dia menceritakan keindahan tubuh perempuan bukan hanya saat adegan di ranjang, melainkan juga lewat tarian. Dia mengambarkan tubuh penari perempuan Bali nan eksotis. // Bukankah semua yang hadir punya hak untuk menelan penari di panggung dengan mata mereka? Siapa yang akan menghukum keliaran mata para lelaki itu?

Siapa yang tahu, mata para lelaki itu diam-diam mengupas habis tubuh perempuan penari itu dalam otak mereka, bersetubuh dengan selendang dan keliaran bau keringatnya.
// Sagra, halaman 40, Sepotong Kaki. Sagra merupakan kumpulan 11 cerpen yang secara gamblang bercerita tentang perempuan Bali yang disebut Ibu Pembesar, Ida Putu Centaga Nareswari, Ida Ayu Pidada, dan masih banyak lagi dengan polemik di dalam griya, dengan suami, taksu, status sosial, atau mata pencahariannya.

Bagi pembaca yang awam dengan budaya Bali, Oka teramat cerdas menuturkan kisah-kisah dalam bukunya dengan mempersempit konteks sehingga bisa menebak-nebak apa yang dimaksudkannya meskipun di halaman akhir juga dilengkapi dengan glosarium. Dalam buku Kenanga dan Tempurung, Oka masih setia dengan persoalan perempuan. Dalam Kenanga, ia menceritakan perempuan muda bernama sama seperti judul.

Dia menggambarkan karakter perempuan Bali yang liar, munafik, dan sadis. Ya, kali ini keindahan agak dikesampingkan karena menyibak sisi gelap kultur dan manusia-manusianya. Ia bercerita tentang Kenanga, perempuan ambisius sekaligus cerdas, ulet, dan keras hati. Kenanga menghadapi konflik ketika laki-laki yang dicintai memghamilinya. Sementara itu, Kencana, adik Kenanga, justru mengabdikan seluruh hidup dan cintanya pada Bhuna, si lelaki Kencana. Rumit. Kompleks.

Dalam Tempurung yang pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Media Indonesia pada 2004, Oka meninggalkan ambisi perempuan Bali. Tetap tentang perempuan, tetapi kali ini berkutat dengan permasalahan tubuh, agama, budaya, dan masyarakat. Mereka bahkan menjadi tokoh yang hidup dalam dunia perkawinan absurd. Ini sekaligus kelemahan perempuan yang membarterkan kebutuhannya akan anak, kasih sayang, cinta, perhatian, dan sentuhan, dengan sebuah perkawinan. Mereka adalah perempuan yang digambarkan tidak pernah berhenti mencari meskipun tidak tahu apa yang diinginkannya bahkan takut pula memimpikannya. Ini adalah novel tentang tubuh perempuan yang sesungguhnya tidak jadi milik mereka sendiri. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya