Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SOLOIS Nadin Amizah baru saja menggelar konser mini bertajuk Malam Mendengar di Lapangan Basket GOR Sumantri, Jakarta Selatan. Alih-alih membiarkan lapangan ala kadarnya atau membangun level panggung seperti pada umumnya suatu konser, Nadin menyulap menjadi taman bunga beralas rumput hijau.
Pukul 20.00 WIB, dengan gaun pink lavender, tanpa alas kaki, Nadin memasuki taman itu dengan liukan tari di antara para pemain band dan orkestra. Di tengah 900 penonton yang mengitarinya di bangku tribun dan 49 di antaranya sambil goleran di matras dekat taman, Nadin membuka Malam Mendengarnya dengan Sorai. Sebuah single yang membawa pendengar kembali pada 2019. Masa ketika awal-awal menjejakkan namanya di dunia musik.
Ia lalu menyambungnya dengan sepaket lagu yang ada di album keduanya, Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya. Kemudian hit Semua Aku Dirayakan dan Di Akhir Perang. Sebagai panggung personal dan tak perlu terburu-buru ditunggu penampil berikutnya, Nadin begitu lepas dan leluasa mengaransemen trek-treknya ke dalam balutan orkestra mini.
Malam itu pula Nadin sebagai duta ‘cewek coquette’ seperti lepas dari personanya yang lebih rigid di panggung-panggung bersama. Nadin menjadi Nadin, serupa peri yang menari bebas di taman bunga, celoteh yang receh, sapaan yang puitis.
“Meski sering bertemu di panggung festival, tetapi semoga kalian tidak melupakan Nadin yang seperti ini,” kata Nadin Amizah di sela pentasnya di Lapangan Basket, GOR Sumantri, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (24/10) malam.
Pada dasarnya, konser mini orkestra ini adalah menelusuri kembali diskografi Nadin sejak 2018 hingga yang terbaru. Bukan saja Sorai (2019), tetapi single Rumpang (2018) juga ikut diselipkan di antara banyaknya trek album Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya. Atau, ia membawa set simpel dengan ukulele lewat trek Star yang jarang dibawakan.
Setelah membabat paruh awal konser mini Malam Mendengar dengan dinamika yang atraktif dan bernuansa mayor, Nadin membawa separuh akhir konser dengan trek-trek yang lebih minor secara nada. Menangis, Dan Selesai, Cermin, hingga Bunga Tidur ia taruh di belakang. Dibuka dengan Sorai, ditutup dengan Sorak Sorai. Menjadi selimut manis bagi para penontonnya malam itu yang datang ke Malam Mendengar.
Meski secara akustik ruangan konser sebenarnya kurang ideal, tetapi lantunan orkestra mini Nadin berjalan mulus dan manis. Vokalnya, tetap prima dari awal hingga akhir. Muatan emosi, penampilan panggung, hingga bagaimana ia menguasai ruang yang ditata dengan panggung arena dan mengharuskannya membagi porsi secara tepat ke tiap sisi, disampaikan dengan apik.
Malam Mendengar menjadi warna lain Nadin Amizah, atau warnanya yang selama ini tak bisa ia tunjukkan di tiap wara-wirinya di panggung-panggung festival musik.(M-3)
Pada babak I, Jakarta Sinfonietta menampilkan karya baru komponis muda Indonesia, Andhanu Candana, Symphonic Miniature No 3.
"A Musical Remembrance" merupakan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA yang telah berperan sebagai Pembina OSUI Mahawaditra selama 31 tahun.
FORESTRA, orkestra musik di Orchid Forest Cikole, Lembang Bandung, tahun ini telah memasuki gelaran ketiga. Bersama komposer Erwin Gutawa, tahun ini mengajak Tulus, Isyana Sarasvati,
Sebanyak 75 musisi muda dari Trinity Youth Symphony Orchestra, tampil memukau di The Edinburgh Festival Fringe 2024.
Orkestra Simfoni Melbourne (MSO) membatalkan resital pianis Jayson Gillham setelah ia membuat komentar kontroversial tentang perang Israel-Gaza.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved