Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Sapyono DAN Lia Putrinda Tanami Mangrove Mengatasi Kerusakan Alam

Despian Nurhidayat
10/11/2018 08:30
Sapyono DAN Lia Putrinda Tanami Mangrove Mengatasi Kerusakan Alam
(MI/SUMARYANTO BRONTO)

SAPTOYO, pria yang berasal dari Malang ini merupakan seorang inisiator Konservasi CMC Tiga Warna. Sebagai seorang pelaku di bidang konservasi, Saptoyo pernah ditahan polisi karena ia menanam di sebuah hutan milik negara, padahal hutan tersebut sesungguhnya sudah mengalami kerusakan.

"Saya dituduh masuk kawasan tanpa izin, waktu itu tahun 2015. Saya juga ditahan dalam kurun waktu 2 x 24 jam. Waktu itu saya bertiga, sama anak perempuan saya dan kader muda saya. Karena waktu itu saya dibilang salah ya sudah, kita minta maaf dan berjanji untuk mengikuti peraturan yang ada," ungkap Saptoyo.

Hutan daerah Tambahrejo pada 1998 mengalami kerusakan yang sangat fatal dan hal ini juga rupanya ada kaitan dengan krisis moneter pada masa lengsernya Soeharto. Saptoyo mengatakan saat itu hukum mulai melemah, masyarakat pada saat itu beralasan permasalahan ekonomi beramai-ramai merambah hutan dan menjadikannya lahan pertanian dan tambak liar.

Pada 2004 pun menjadi dampak yang mulai terasa di kawasan daerah Tambahrejo. Kekurangan air, tsunami, menurunnya angka penangkapan ikan, dan lainnya, merupakan dampak yang paling dirasakan. Padahal Saptoyo mengatakan separuh dari 8.000 penduduk di desanya berprofesi sebagai nelayan.

"Saat itu, terumbu karang semuanya mati. Karena apa, karena tertimbun oleh sedimen, jadi erosi dari tanah miring karena tanah yang terus dicangkul itu akhirnya kena hujan mereka longsor, longsorannya menimbun terumbu karang, terumbu karangnya mati. Ketika terumbu karang mati itu ikannya pasti pergi. Nelayan sudah susah mencari ikan," ungkap pria kelahiran Malang tersebut.

Dengan adanya kondisi tersebut, masyarakat belum juga sadar bahwa hal tersebut merupakan akibat yang ditimbulkan mereka sendiri. Semua dampak bencana yang terjadi dianggap masyarakat karena Tuhan belum memberikan rezeki tersebut kepada mereka.

Melihat hal ini, Saptoyo pun terpanggil untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Hal pertama yang ia lakukan ialah menanami tanaman mangrove di tempat bekas kerusakan yang ditimbulkan masyarakat. Awalnya Saptoyo melakukan hal ini hanya sebatas dengan keluarganya saja, hal itu ia lakukan sebatas karena ia mencintai tanah kelahirannya tersebut.

Hal yang ia lakukan pun ternyata awalnya dianggap sebagai perbuatan yang gila oleh masyarakat. Hal itu pun bukan halangan bagi Saptoyo karena ia terus melakukan penanaman tumbuhan mangrove dan juga keluarganya sangat mendukung dengan apa yang ia lakukan. "Istri saya bahkan mendukung dan pernah bilang 'Sudah, kerjain saja itu kalau menurut ayah bermanfaat. Saya yang akan jualan buat makan keluarga,' gitu," lanjut Saptoyo.

Dari 2005 hingga 2014, barulah masyarakat merasakan bahwa apa yang dilakukan Saptoyo merupakan hal yang benar. Butuh waktu 9 tahun untuk menyadarkan masyarakat untuk melakukan semua kebaikan untuk tanah kelahirannya.

Anak  Saptoyo pun rupanya sudah diberitahu Saptoyo sedari SD bahwa ia akan fokus untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi di Tambahrejo. Awalnya sang anak pun menanyakan lalu sekolahnya akan bagaimana dan dengan lugas menjawab bahwa jika ia merawat ciptaan Tuhan, nanti Tuhan pulalah yang akan memberikan anaknya biaya untuk bersekolah.

Cerita Lia
Lia Putrinda anak dari Saptoyo pun menjelaskan bahwa hal yang paling ia ingat ketika ayahnya ingin fokus untuk mengurusi hutan mangrove, sedangkan ia kebingungan bagaimana ia harus sekolah. "Jadi, saat itu kita berada di Pantai Clungup, tempat kami termotivasi. Karena tempat itu rusak, saya agak sedikit menyalahkan generasi yang dulu. Kenapa ini diizinkan terjadi, kenapa saya diwarisi bapak saya harus berlumpur-lumpur, sedangkan orang-orang dulu membabat hutan dan menghancurkan hutan hanya untuk kepentingan pribadi sehingga pada saat itu yang diwarisi kok saya dengan kekhawatiran aduh gak iso sekolah iki," ungkap perempuan yang biasa disapa Lia itu.

Lia juga rupanya ikut ditahan bersama Saptoyo pada 2015. Setelah kejadian tersebut, hal itu dijadikan sebuah momen untuk tidak lagi menyalahkan siapa pun dan menjadikannya sebagai momen untuk berbenah diri. Bahwasanya niat baik yang ia lakukan tentunya harus sesuai dengan birokrasi dan juga bantuan dari pihak lain, kemudian mereka pun mulai untuk menyadarkan masyarakat bahwa tempat tersebut harus dibangun secara bersama dan tidak bisa diselesaikan sendiri.

Lia juga mengakui bahwa ia pernah menjalani perkuliahan selama 3 semester, tetapi berhenti karena ia ingin kembali ke desanya dan membangun hutan mangrove bersama ayahnya. "Saya memutuskan untuk banting setir. Saya kembali ke desa dan tidak bisa disambi kalau bahasa Jawa itu. Tidak bisa pulang-pergi dan harus penuh waktu karena memang ini tidak main-main dan akhirnya saya memutuskan pulang ke desa dan melengkapi sudut-sudut yang belum tergarap. Jadi, kerjanya bukan kerja keras, melainkan kerja cerdas," ungkap perempuan yang pernah berkuliah pada 2013 tersebut.

Saat ini sudah sebanyak 73 hektare hutan mangrove sudah tersebar luas di wilayah Tambahrejo. Hutan pantai yang sudah mampu dipulihkan pun sudah sebanyak 20 hektare dan masih memiliki target sebanyak 117 hektare untuk diperbaiki. Saat ini pun tempat tersebut menjadi destinasi ekowisata dengan berbagai macam fasilitas dan permainan untuk dinikmati oleh para pengunjung. Untuk pemeliharaan hutan konservasi tersebut pun dilakukan pemeriksaan setiap kali pengunjung datang dan pergi. Jika ada yang ketahuan membuang sampah nonorganik yang mereka bawa, akan dipersilakan untuk kembali dan mencari sampah tersebut. Jika hasilnya nihil, akan dikenai denda sebesar Rp100 ribu.

"Tiket masuk itu 10 ribu, itu biaya wajib. Kemudian ada pemandu lokal, itu setiap rombongan Rp100 ribu. Yang jelas akan didapatkan pengalam baru. Jadi, pengalaman barunya, akan menjadi orang yang bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dari hal yang paling sederhana," ungkap Saptoyo.

Pengunjung yang datang ke tempat koservasi itu pun berjumlah 2.000 sampai 3.000 orang pertahunnya, itu pun sudah dilakukan pembatasan untuk pengunjung. Upaya itu dilakukan untuk memproteksi sumber daya alam dan sumber daya manusia agar tetap seimbang dan menghindari kerusakan-kerusakan yang terjadi lagi ke depannya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya