Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
NAMA Jay Subiakto, 57, tidak asing di telinga para pencinta seni di Indonesia. Bukan hanya generasi sezamannya yang tahu sepak terjangnya, generasi muda zaman now pun tak asing lagi dengan karya-karyanya.
Laki-laki kelahiran Turki, 24 Oktober 1960, memang dikenal sebagai sutradara, penata artistik, dan koreografer. Sebagai pekerja seni, Jay berpendapat bahwa karya seni harusnya bisa membawa pesan.
Salah satu problem yang menjadi perhatian Jay saat ini ialah masifnya kerusakan lingkungan di Tanah Air, yang berdampak signifikan terhadap kesehatan. "Kita hidup, kita butuh oksigen, kita butuh semua itu karena harusnya lingkungan yang seimbang yang sehat. Jadi, kalau buat saya sesuai profesi saya, setiap saya buat sesuatu harus ada pesannya, harus ada misinya," kata Jay, saat ditemui di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Pesan untuk lebih mencintai lingkungan itu disebarkannya lewat pentas seni tradisi Dayak Ngaju dan Dayak Maanyan bertajuk Bawi Lamus yang akan dihelat pertengahan Oktober ini. Jay menyatakan, pesan itu lebih khusus ditujukan untuk para generasi muda untuk lebih mengenal negerinya. "Kaum milenial sekarang, mereka sekarang canggih, bisa tahu semua informasi. Tapi, justru ironisnya kurang informasi tentang negerinya sendiri," sergah alumnus Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu.
Dalam menyampaikan pesannya, Jay memilih karya seni agar gaungnya lebih cepat sampai. "Saya pikir lewat lagu, lewat visual, orang lebih cepat menangkap daripada kita misalnya, bikin ceramah, gak ada yang datang," terang Jay.
Angkat Kalimantan
Pentas Bawi Lamus yang mengambil latar pulau Kalimantan pun bukan tanpa alasan. Jay mengatakan, perhatian terhadap Kalimantan sebagai paru-paru dunia saat ini semakin minim. Hal itu terlihat dari banyaknya pembakaran hutan, tambang batu bara, hingga pembalakan liar yang masih terjadi. Pembunuhan orang utan juga jadi satu isu berikutnya yang kurang mendapat perhatian.
"Hutan menjadi salah satu titik ukur yang paling mudah. Ini harus secara luas harus mendunia, kita tahu bahwa Kalimantan itu adalah salah satu paru-paru dunia," tambah Jay.
Laki-laki berdarah Banyumas-Minangkabau itu mengaku iri ketika banyak tokoh dunia menaruh perhatian tentang kerusakan alam Indonesia. Sementara itu, orang Indonesia tidak begitu peduli.
"Ketika ada Harrison Ford, Leonardo DiCaprio, tiba-tiba sangat konsen tentang Indonesia kok kita sendiri gak," terang Jay.
Pada 2013, aktor Hollywood Harrison Ford mengkritik Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat itu karena melihat kondisi hutan di Tesso Nilo, Riau, yang sudah rusak parah. Video rekaman wawancara Ford dengan Zulkifli Hasan ditayangkan dalam sebuah film dokumenter tentang lingkungan berjudul Years of Living Dangerously.
Keprihatinan juga dilontarkan aktor dan juga pegiat lingkungan Leonardo DiCaprio saat mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh, pada 2016. Ia mengunggah opini tentang rusaknya hutan di Indonesia dalam akun Instagram-nya.
Minimnya kepedulian orang Indonesia terhadap kelestarian lingkungan mereka membuat Jay tak habis pikir. Padahal, alam itulah yang nantinya menjamin keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa.
"Ini yang mau saya kasih tahu bahwa kita punya Bumi Pertiwi yang harus kita lindungi. Ada orang-orang yang harus kita tegur untuk jangan rakus menggerus terus hasil bumi Indonesia karena mereka sendiri punya cucu punya anak, tapi mereka gak pernah konsen tentang itu," tegas peraih Piala Maya sebagai Film Dokumenter Panjang Terpilih 2017 lewat film dokumenter yang disutradarainya, Banda, the Dark Forgotten Trail. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved