"I am sure my sisters must all envy me. I only hope they may have half my good luck. They must all go to Brighton. That is the place to get husbands." Jane Austen, Pride and Prejudice (1813).
Entah mengapa itulah kalimat yang ada di benak saat kereta yang saya tumpangi tiba di Brighton Station, Inggris. Meski demikian, kunjungan saya kali ini bukan mencari pasangan hidup, melainkan bagian dari ketertarikan mengabadikan kehidupan manusia dan pantai di beberapa negara. Menurut saya, tidak banyak kota pesisir yang berhasil menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan tuntutan publik untuk menggunakan pantainya secara cuma-cuma.
Beberapa hari saya mengamati interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari warga di Pantai Brighton, mulai sekelompok orang yang berenang, ada pula yang berlari di sore hari, calon pengantin melakukan sesi foto pra-nikah, hingga keluarga yang asyik menikmati bermacam wahana permainan di Brighton Pier. Tidak jauh dari pinggir laut ke arah kota, ada jalanan sempit berkelok bagai labirin dikenal dengan nama The Lanes. Di sini masyarakat dapat menikmati deretan toko dengan gaya bohemian, mencicipi bermacam makanan di restoran dan bar, atau sekedar duduk menyesap secangkir kopi sambil mungkin membuat catatan harian.
Dikabarkan, Graham Greene menghabiskan waktu di sebuah pub di sana dan melahirkan novel gangster Brigthon Rock (1938). Novel itu diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara John Boulting dan aktor Richard Attenborough pada 1947. Bagi saya, Brighton merupakan salah satu kota yang berhasil menata ruang publik pantainya. Mereka menyadari nilai sebuah ruang publik tidak bisa didasarkan hanya pada hitungan ekonomi saja, tetapi juga kehidupannya lebih bermakna dengan adanya interaksi sosial. Dengan begitu, masyarakat dapat saling berbagi, tempat menikmati kebersamaan atau juga leluasa menyendiri di ujung senja. (M-3)