Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
GAGASAN menggabungkan kegiatan pengamanan laut di bawah satu komando sesungguhnya sudah terealisasi sejak 1972. Reorganisasi pemerintahan dan perubahan undang-undang membuat komando koordinasi itu mengalami beberapa kali transformasi.
Yang terbaru ialah pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 yang diperjelas dengan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Dengan regulasi itu seluruh kegiatan yang menyangkut penjagaan, pengawasan, hingga penindakan di perairan dilakukan secara terpadu di bawah koordinasi Bakamla. Itu teori di atas kertas.
Memang benar, pelaksanaan di lapangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengalaman selama 48 tahun disertai beberapa kali transformasi pun masih belum bisa menutupi bolong-bolong koordinasi. Kegiatan pengamanan laut yang kini melibatkan armada dari enam lembaga bisa dibilang kurang efektif.
Persoalannya, kegiatan pengamanan laut di tiap lembaga punya payung hukum masing-masing. Kendati Bakamla diberi amanat undang-undang untuk mengoordinasikan, ego sektoral membuat keenam lembaga bergerak berlandaskan undang-undang 'milik' mereka.
Tidak mengherankan bila di satu wilayah perairan armada bertumpuk, tapi di wilayah lain sama sekali tanpa penjagaan. Beberapa kali nelayan-nelayan lokal terpaksa melarikan diri, diusir kapal patroli asing di pekarangan kita sendiri.
Entah sudah berapa banyak kasus penyelundupan, pencurian sumber daya laut, dan kejahatan lainnya yang terendus pun tidak. Sering kali, alasan yang muncul lebih banyak terkait dengan keterbatasan armada kapal patroli.
Padahal, bila digabungkan, armada dari Bakamla, Polisi Air, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Perhubungan, ditambah TNI Angkatan Laut, mencakup tidak kurang dari seribu kapal. Coba bandingkan dengan armada penjaga perairan negeri jiran, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia, yang diperkuat tidak sampai 300 kapal.
Oleh karena itu, keinginan pemerintah untuk membentuk omnibus law pengamanan laut sekaligus memperkuat Bakamla sebagai koordinator merupakan langkah yang tepat. Di sini dibutuhkan dukungan yang kuat dari parlemen.
Akan lebih baik lagi bila penjagaan perairan Indonesia dilakukan satu lembaga, bukan sekadar mengandalkan koordinasi. Satuan-satuan patroli perairan di lembaga lain, kecuali TNI Angkatan Laut, bisa dilebur ke Bakamla menjadi unit-unit, kemudian koordinasi tinggal dilakukan antara Bakamla dan TNI.
Apa pun bentuk yang ditempuh harus dipastikan pembenahan ini tidak hanya mengulang kelemahan yang terus-menerus terjadi hingga kini. Percuma punya penjaga bila nelayan-nelayan kita sampai ketakutan melaut di perairan negeri sendiri.
Prabowo Subianto menyambut baik penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia dan Tiongkok Coast Guard.
Ali mengatakan bentuk Coast Guard di berbagai negara beragam. Dia mencontohkan Australia terdapat sistem maritime border coast protection yang melibatkan unsur angkatan laut.
Kabakamla Laksdya TNI Irvansyah disebut-sebut berpeluang menempati posisi Wakil Panglima TNI. Hal ini seiring dengan rencana pergantian kepemimpinan di jajaran TNI
Hingga kini belum ada regulasi resmi yang menyebutkan secara jelas bahwa Bakamla adalah coast guard Indonesia.
Informasi yang berkembang di kalangan media, mencuat nama Laksdya Erwin dan Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Irvansyah sebagai calon Kasal.
Dua perwira tersebut memiliki rekam jejak yang kuat dalam kepemimpinan dan strategi pertahanan maritim. Keduanya saat ini menjabat di posisi strategis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved