Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pesimistis target porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% di 2025 bisa tercapai. Hal itu terjadi lantaran biaya untuk mengembangkan EBT cukup besar dan tarif jualnya mahal. Hal itu menyebabkan EBT kurang ekonomis untuk dikembangkan.
“Mungkin kita tidak dapat mencapai target EBT 23%, tapi kami coba mencapainya paling tidak 20%. Tantangannya tarif,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, dalam sambutannya, saat meresmikan French Renewable Energy Group (FREG) di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.
Hal senada juga diutarakan Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi ESDM, Rida Mulyana. Menurut dia, sangat sulit bagi pemerintah untuk mematok tarif yang tinggi untuk EBT karena yang lebih diprioritaskan saat ini ialah listrik murah untuk rakyat.
Diakui dia, tarif EBT yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 (Permen ESDM 12/2017) tidak memuaskan semua pihak. Namun, menurut dia, yang terpenting saat ini ialah tarif listrik yang efisien. Dengan demikian, tidak masalah jika yang dipakai nanti ialah sumber energi fosil atau EBT.
Menurut dia, dengan harga listrik yang murah, masyarakat tak terbebani. Industri di dalam negeri juga bisa lebih kompetitif. Itulah sebabnya pengembangan EBT diupayakan harus efisien. Kalau harganya belum bisa murah, untuk sementara itu dikesampingkan dulu.
Berkenaan dengan penurunan target bauran EBT, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan (METI) Suryadharma menyalahkan kebijakan pemerintah. Menurut dia, pemerintah keliru mendorong investor mengembangkan EBT dalam sistem ketenagalistrikan di wilayah Indonesia Timur. Padahal, konsumsi listrik di wilayah tersebut terbilang rendah, sekitar 10% dari kebutuhan energi nasional. Belum lagi minimnya akses infrastruktur yang sudah tentu membuat biaya pokok produksi (BPP) relatif tinggi. Kondisi yang jauh berbeda dengan wilayah Indonesia bagian barat. Walhasil, investor yang didorong ke wilayah Timur akan berpikir ulang bila dirasa tidak ekonomis, apalagi untuk investasi jangka panjang.
Gandeng Prancis
Jonan menambahkan bauran EBT pada energi nasional baru 6%. Untuk itu, pihaknya pun gencar mendorong masuknya arus investasi di sektor EBT, termasuk dari negara lain.
Karena itu, pemerintah menggandeng Prancis untuk bekerja sama dalam mengembangkan EBT di dalam negeri. Dalam pertemuan antaran dirinya dan Menteri Luar Negeri Perancis, Jean Marc Ayrault, Jonan meresmikan pembentukan French Renewable Energy Group (FREG). FREG merupakan wadah bagi perusahaan-perusahaan Prancis yang sudah beroperasi di Indonesia maupun para pelaku usaha Prancis yang tertarik untuk masuk ke sektor EBT. FREG akan menjadi kepanjangan tangan dari French Syndicate of Renewable Energy (SER), organisasi EBT terbesar di Prancis. Dengan hadirnya FREG di Indonesia, peluang kerja sama antarkedua negara dapat tercipta.
“Klub Energi Terbarukan yang baru saja terbentuk di Indonesia merupakan panggung yang dapat memperlihatkan keunggulan Prancis di sektor energi,” tutur Ayrault. (E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved