MESKI terjadi deflasi 0,08% pada November 2015 ini, Bank Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda bakal menurunkan suku bunga acuan (BI rate).
Dengan demikian, selisih BI rate dengan inflasi semakin luas.
"Ruang untuk menurunkan BI rate semakin besar. Dengan deflasi seperti itu, makin lama real interest rate atau RIR-nya (selisih antara BI rate dan inflasi) semakin besar," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution, di kantornya, kemarin.
Badan Pusat Statistik mencatat terjadi deflasi Oktober sebesar 0,08%. Itu merupakan deflasi pertama di Oktober.
Dengan demikian, inflasi Januari-Oktober 2015 mencapai 2,16%, jauh di bawah asumsi inflasi di APBN-P 2015 yang 5%.
Sementara itu, inflasi Oktober 2014-Oktober 2015 (year on year) mencapai 6,25%.
Deflasi bersumber dari penurunan harga kelompok bahan makanan bergejolak (volatile food) yang dipengaruhi terutama oleh koreksi harga daging ayam dan daging sapi, serta aneka cabai.
Deflasi pada kelompok volatile food mencapai 1,22%, atau yang terbesar dalam lima tahun terakhir.
Darmin memprediksi hingga akhir tahun inflasi akan berada di kisaran 3,6%. Dengan BI rate yang kini 7,5%, selisih BI rate dan inflasi bisa mencapai 400 basis poin (4%).
"Itu tak pernah terjadi sebelumnya," terang mantan Gubernur BI itu.
Menurut Darmin, lazimnya selisih BI rate dan inflasi hanya 1%.
Jurang RIR akan mendorong masyarakat untuk menyimpan uang dan enggan meminjam dari bank karena bunga yang mencekik.
Hal itu kurang menguntungkan bagi Indonesia yang tengah mengalami pelemahan daya beli.
Sepanjang 2015, BPS mencatat ada empat bulan terjadi deflasi, yakni Januari, Februari, September, dan Oktober.
Ekonom BRI Anggito Abimanyu menilai deflasi dua bulan berturut-turut menunjukkan keberhasilan pemerintah untuk menekan inflasi agar sesuai dengan target.
"Ini positif. Selain itu, deflasi ini juga sebenarnya dialami oleh dunia, bukan Indonesia saja," tuturnya, kemarin.