Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Rakyat Tertekan, Pemerintah Didesak Batalkan Kenaikan Pajak

Insi Nantika Jelita
01/9/2025 17:39
Rakyat Tertekan, Pemerintah Didesak Batalkan Kenaikan Pajak
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal.(Dok. Youtube Core Indonesia)

DI tengah tekanan ekonomi yang kian dirasakan masyarakat, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mendesak pemerintah menghentikan sejumlah kebijakan. Utamanya, kenaikan pajak.

 

Faisal menilai kebijakan perpajakan yang menekan kalangan masyarakat menengah ke bawah, baik itu kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada 2025, maupun pungutan daerah harus segera direvisi.

 

"Perlunya membatalkan kebijakan-kebijakan berpajakan yang memberatkan masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah," ungkapnya dalam Diskusi Publik bertajuk Indonesia di Persimpangan: Reformasi Fiskal dan Masa Depan Ekonomi, secara daring, Senin (1/9).

 

Selain itu, pemerintah diminta perlu menata kembali alokasi transfer ke daerah yang selama ini memicu lonjakan pajak dan retribusi. Serta menghentikan belanja yang tidak produktif, termasuk pemborosan pada lembaga baru, insentif berlebihan, dan tunjangan bagi pejabat publik maupun elit politik.

 

"Tunjangan yang berlebihan untuk pejabat publik dan elit politik termasuk di antaranya tunjangan rumah untuk anggota DPR juga perlu dibatalkan," tegas Faisal.

 

Ia menambahkan fokus fiskal seharusnya diarahkan pada program yang langsung mengatasi masalah masyarakat, seperti penciptaan lapangan kerja yang masif, penguatan sektor padat karya yang saat ini tertekan, dan pemberdayaan ekonomi terstruktur untuk mengentaskan kemiskinan. Bukan sekadar memberikan bantuan sosial yang rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. "Tidak jarang juga bantuan-bantuan sosial ini mudah ditunggangi oleh motif-motif politik," tudingnya.

 

Secara makro, Faisal menekankan perlunya pemerintah mengantisipasi tekanan eksternal, khususnya dampak kesepakatan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat, yang berpotensi mendorong lonjakan impor dan menekan sektor produksi dalam negeri, termasuk pertanian dan manufaktur. Menurutnya, tanpa langkah antisipatif, kondisi ekonomi nasional yang tengah tertekan bisa semakin memburuk.

 

Di sisi lain, ekonom Core itu menilai aksi anarkis seperti penjarahan dan perusakan fasilitas umum maupun properti pribadi tidak bisa dibenarkan. Pemerintah dan aparat diminta menenangkan situasi dengan pendekatan persuasif, bukan represif. "Kami juga mengajak masyarakat untuk tidak terjebak pada ajakan aksi-aksi penjarahan dan perusakan fasilitas umum," pungkasnya.

 

Beda Data dengan Lapangan

Dalam kesempatan sama, Manajer Riset dan Pengetahuan The Prakarsa, Roby Rushandie, menuding realita di lapangan kerap jauh berbeda dengan data resmi maupun pernyataan yang disampaikan pemerintah.

 

Ia mengatakan dalam tiga tahun terakhir, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mengalami lonjakan signifikan. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan pada 2022, jumlah pekerja yang terkena PHK sebanyak 25.114 orang. Angka ini meningkat pada 2023 menjadi 64.855 orang, dan kembali naik menjadi 77.965 orang pada 2024.

 

Kemudian, meskipun data resmi menunjukkan penurunan angka pengangguran, kualitas pekerjaan masih menjadi persoalan serius. Data Januari 2025 menunjukkan angkatan kerja sektor informal meningkat hampir 60 juta orang, sementara pertumbuhan pekerja formal stagnan selama empat hingga lima tahun terakhir.

 

"Artinya, meski klaim pengangguran turun, kenyataannya PHK meningkat dan sektor informal terus mendominasi," jelas Roby. Ia mengambil gambaran dari sosok Affan Kurniawan yang meninggal setelah ditabrak kendaraan taktis Brimob pada Kamis (28/8). Affan yang merupakan driver ojol memperlihatkan realitas berat yang dihadapi pekerja informal.

 

Survei Prakarsa terhadap 213 responden menunjukkan sekitar 60% memilih profesi ojol sebagai pekerjaan utama, namun 26% di antaranya bekerja lebih dari 48 jam per minggu.

 

Kemudian, data Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia memperkirakan sekitar 4 juta pengemudi ojol pada 2020, sementara laporan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk mencatat jumlah mitra pengemudi Gojek sekitar 2,6 juta pada akhir 2021, meningkat menjadi 3,1 juta pada akhir 2023.

 

Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan rata-rata pendapatan harian pengemudi ojol sebelum pandemi (2018–2019) sebesar Rp304.688, namun menurun drastis menjadi Rp100 ribu per hari saat pandemi (2020–2021).

 

Kondisi ini, tegas Roby, diperparah dengan mayoritas pekerja informal seperti pengemudi ojol kurang mendapatkan dukungan pemerintah dan minim perlindungan ketenagakerjaan.

 

"Hanya 12% dari 4,6 juta pekerja platform digital terdaftar di BPJS Kesehatan. Ini menunjukkan sebagian besar pekerja informal masih sangat rentan terhadap risiko sosial dan ekonomi," tutupnya. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya