Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Industri Walet Lesu, Petani Minta Pemerintah Jadi Bapak Asuh

Putri Anisa Yuliani
25/8/2025 11:28
Industri Walet Lesu, Petani Minta Pemerintah Jadi Bapak Asuh
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Petani Sarang Walet Nusantara (PPSWN), Benny Suryo Sabath Hutapea, mengungkapkan menurunnya industri walet dalam negeri.(Dok Istimewa )

KETUA Dewan Pembina Perkumpulan Petani Sarang Walet Nusantara (PPSWN), Benny Suryo Sabath Hutapea, mengungkap kondisi industri sarang burung walet yang tengah melemah di Indonesia.

Ia menyoroti sejarah panjang dan potensi besar dari komoditas bernilai tinggi ini. Menurut Benny, industri sarang walet telah ada sejak abad ke-17. Ia menceritakan kisah armada pelaut Tiongkok di bawah pimpinan Admiral Zheng He yang secara tidak sengaja menemukan sarang walet saat kelaparan akibat badai.

“Mereka (pelaut Tiongkok, red) sempat terjebak dalam badai topan, yang membuat mereka kelaparan, karena tidak adanya makanan dan minuman yang memadai. Mereka pun mencari apa saja agar bisa menjadi makanan, salah satunya sarang burung walet,” ujar Benny dalam keterangannya, Senin (25/8).

Pelaut itu kemudian memasak sarang walet dan merasakan manfaat kesehatannya. "Dari sinilah mulai ditemukan salah satu manfaat sarang burung walet untuk kesehatan karena bisa menambah stamina dan kekebalan tubuh,” tambahnya.

Sejak itu, sarang walet menjadi komoditas mewah di kalangan kerajaan Tiongkok dan bahkan dijadikan hadiah bagi Kaisar Dinasti Ming. Puncaknya, antara 1960 hingga 2019, harga sarang walet bisa mencapai Rp40 juta per kilogram.

Benny menyebut saat ini terdapat jutaan petani walet dan ratusan ribu rumah walet tersebar di seluruh Indonesia. Produk mereka diekspor ke berbagai negara seperti Tiongkok, Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, Australia, hingga Jepang dan Korea.

“Indonesia adalah penghasil terbesar sarang burung walet di dunia. Bahkan pada 4 Mei 2021, Presiden Jokowi sempat membahasnya dalam rapat terbatas,” ungkap Benny.

Lebih lanjut, ia menyinggung kesepakatan ekspor walet Indonesia-Tiongkok yang diteken Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping pada 27 Juli 2023. Namun, menurutnya, belakangan ini industri walet menghadapi tantangan serius.

Harga jual sarang walet anjlok hingga Rp2,5 juta per kilogram. Tak hanya itu, perusahaan pengolahan sarang walet juga terkena sanksi dari General Administration of Customs China (GACC), yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja puluhan ribu karyawan.

“Para petani budi daya mengikuti arahan Bapak Presiden Prabowo untuk dapat melakukan hilirisasi bahan baku siap saji. Untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor," ujar Benny.

Namun, ia mengaku regulasi dari Pemerintah Tiongkok telah menghambat ekspor dan memperparah kondisi petani.
Kebijakan tersebut antara lain menetapkan parameter baru terkait kandungan aluminium <100mg/kg sarang walet yang sebelumnya tidak pernah tercantum dalam MoU protokol impor antara Indonesia-Tiongkok.

Situasi perubahan mendadak dalam standar produk walet dari GACC itu tentu menyulitkan bagi petani sarang walet di Indonesia. Sebab, Indonesia adalah penghasil sarang burung walet terbesar di dunia, dengan produksi 1.900 ton per tahun (per tahun 2023) dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya secara
kuantitas.

Akibat perubahan standar dari GACC itu telah terjadi penurunan ekspor sarang walet dari Indonesia ke Tiongkok sekitar 250 ton/tahun atau setara Rp5 triliun setara US$309 juta. Padahal pasar utama dan terbesar ekspor walet Indonesia adalah Tiongkok yakni 78% dari total ekspor.

Penurunan ekspor itu berdampak pada timbulnya ancaman PHK bagi ratusan ribu tenaga kerja pabrik, UMKM, dan rantai pasok.

"Satu juta lebih petani walet di seluruh Indonesia kesulitan menyalurkan hasil panen karena menurunnya serapan pasar, sehingga pendapatan masyarakat di daerah terpukul keras," ungkap Benny.

Kondisi ini juga dapat memukul potensi devisa dari industri ini. Benny menyebut, jika kondisi ini berlanjut, Indonesia hanya akan berperan sebagai pengekspor bahan mentah yang belum diolah ke Tiongkok. Akibatnya, produk sarang burung walet dunia berisiko didominasi label Made in China, sehingga nilai tambah, lapangan kerja, serta citra produk yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia berpindah ke negara lain. Karena itu, Benny mendesak pemerintah Indonesia hadir sebagai fasilitator.

“Kami berharap hadirnya pemerintah sebagai fasilitator, yang juga mampu menjadi bapak asuh sebagai pendorong kemajuan para petani walet. Sehingga dapat menjadi problem solver stabilisasi harga dan sanksi ekspor," tegasnya.

PPSWN pun menyampaikan harapan agar industri walet bisa kembali bangkit, terutama dari sisi ekspor.

"Kalau produksi industri sarang burung walet berjalan dengan baik, mulai dari pembibitan hingga pemasaran, maka akan banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan negara dari ekspor,” tutup Benny Hutapea. (E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya