Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
BOCORNYA gula rafinasi ke pasar konsumsi ditengarai sebagai biang kerok macetnya penyerapan gula dari petani tebu. Padahal, peruntukan gula rafinasi ialah untuk industri.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menyebut kebocoran gula rafinasi ini mencerminkan kegagalan pasar (market failure). Dalam hal ini insentif pribadi (keuntungan dari penjualan ilegal) mengalahkan regulasi.
Hal itu juga ditambah kurangnya pengawasan sehingga terjadi rembes stok kebutuhan industri ke pasar konsumen.
Eliza menyampaikan sejumlah faktor bocornya gula rafinasi ke pasar konsumsi. Pertama, pengawasan distribusi gula rafinasi kurang ketat. Kemudian pengawasan dan pemeriksaannya kurang intens dan menyeluruh ke seluruh pabrik gula rafinasi.
“Yang diawasi jangan sampling, tapi semua industri,” kata Eliza saat dihubungi, Senin (18/8).
Ia mengungkapkan, titik kebocoran biasanya terjadi ketika modus pengemasan ulang, seperti gula rafinasi dicampur (oplos) dengan gula reject pabrik gula lokal. Lalu ia dikemas jadi gula konsumsi.
“Ketika gula rafinasi dijual ke market, berarti selama ini industri impornya berlebih. Mestinya dihitung dan disesuaikan dengan kapasitas produksinya. Kalau yang diimpor sesuai dengan kebutuhan, mungkin kebocoran ini tidak akan terjadi,” paparnya.
“Ketika oversupply di industri, agar tidak rugi, kan, gula tersebut harus dikeluarkan dari stok. Nah ini yang mestinya dievaluasi, kuota atau besaran volume impor gula rafinasi,” jelasnya.
Kalaupun industri besar menjual gula rafinasi ke industri menengah kecil, kata Eliza, harusnya penjualannya diawasi dan terlacak. “Sehingga tidak sembarangan menjual. Harus diverifikasi dulu pembelinya,” imbuhnya.
Di samping itu, perbedaan harga gula rafinasi yang lebih murah (sekitar Rp12.000-13.000/kg) dibandingkan gula kristal putih petani yang harganya Rp14.000-Rp15.000/kg menciptakan insentif bagi pelaku untuk menjual secara ilegal ke konsumen.
Pasalnya keuntungannya lebih tinggi, apalagi dengan pengawasan yang kurang. Hal tersebut semakin menarik bagi pengusaha untuk memaksimalkan profitnya.
Lebih lanjut, struktur pasar yang cenderung oligopolistik, dikuasai segelintir perusahaan juga memfasilitasi rembesan karena kurangnya transparansi dalam distribusi.
Menurut Eliza, tentu kebocoran ini secara langsung merusak harga gula kristal putih (GKP) petani karena menciptakan oversupply murah di pasar konsumsi. Ia menggeser permintaan dari produk lokal dan menyebabkan produk petani tidak terserap karena harga rafinasi lebih murah daripada gula lokal.
“Apalagi di tengah kondisi daya beli masyarakat yang menurun terus, yang dicari adalah yang termurah. Mereka tidak lagi memikirkan ini impor atau dari dalam negeri,” pungkasnya. (E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved