Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
HIMPUNAN Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mencatat adanya tren rombongan jarang beli atau rojali, yakni kecenderungan pengunjung mal yang lebih sering datang hanya untuk melihat-lihat tanpa melakukan pembelian. Meski begitu, fenomena ini justru membawa dampak positif bagi sektor makanan dan minuman (F&B), yang mengalami peningkatan pendapatan sebesar 5% hingga 10%.
Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, menilai situasi tersebut sebagai peluang di tengah bergesernya perilaku konsumen ke arah belanja daring.
"Karena nongkrong pasti lihat minuman makanan beli. Kan enggak mungkin duduk enggak beli," ujar Budihardjo saat menghadiri acara Hari Retail Modern Indonesia di Jakarta, Rabu (23/7).
Pernyataan Budihardjo sejalan dengan pendapat Direktur Bina Usaha Perdagangan dari Kementerian Perdagangan, Septo Soepriyatno. Ia menyebut fenomena rojali sudah mulai terlihat sejak masa pandemi covid-19. Menurutnya, setelah terbiasa berada di rumah, masyarakat kini mencari ruang untuk bersosialisasi di luar.
Seiring dengan perubahan tersebut, konsep pusat perbelanjaan juga mengalami transformasi. Mal kini tak lagi semata-mata tempat berbelanja, melainkan menjadi destinasi untuk rekreasi, hiburan, serta interaksi sosial.
"Contoh adalah Plaza Semanggi, sudah berubah menjadi Plaza Nusantara. Konsepnya berubah total. Mereka menciptakan ruang-ruang yang memang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berinteraksi. Nah, itu yang sangat diperlukan sekarang," kata Septo.
Lebih lanjut, Septo menjelaskan bahwa meskipun pengunjung rojali tidak selalu membeli langsung, mereka kerap memanfaatkan toko fisik sebagai tempat showrooming sebelum akhirnya bertransaksi secara online. Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini, para pelaku usaha ritel pun mulai menerapkan strategi omnichannel, yaitu menggabungkan penjualan offline dan online.
"Sebenarnya secara keseluruhan, omzet pedagang naik. Tetapi memang ada pergeseran, ada yang (menjual) online. Ini informasi yang kami dapat dari para pengusaha," ungkapnya. (Ant/E-4)
KETUA Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menyatakan turut mengomentari fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana).
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025 menjadi sebuah paradoks dari daya beli yang sedang menurun.
Rojali dan Rohana merupakan bentuk reaksi alami dari masyarakat yang tengah mengalami pelemahan daya beli.
Sering kali orang berperilaku seolah ingin membeli sesuatu sebagai strategi untuk membentuk citra diri sebagai konsumen berdaya beli di hadapan orang lain.
Di tengah kabar baik turunnya angka kemiskinan nasional, pemerintah kini menghadapi tantangan baru: daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Menurut Alphonzus, kecenderungan ini akan mereda jika daya beli masyarakat kembali meningkat.
FENOMENA rombongan jarang beli atau rojali diduga kembali muncul di pusat-pusat perbelanjaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved