Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PENURUNAN tajam peringkat daya saing Indonesia dalam laporan IMD World Competitiveness Ranking 2025 tidak lepas dari merosotnya dua pilar utama, yaitu efisiensi pemerintah dan efisiensi bisnis. Hal itu dinilai menjadi sinyal kuat kepercayaan investor global terhadap tata kelola dan stabilitas ekonomi Indonesia sedang terguncang, terutama menjelang transisi pemerintahan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, dua faktor tersebut mencatatkan penurunan paling signifikan dibanding indikator lainnya.
"Yang paling besar penurunannya itu adalah untuk kriteria dan indikator terkait dengan government efficiency dan business efficiency. Government efficiency itu drop-nya sampai 11 peringkat. Nah, yang business efficiency lebih parah lagi, itu drop-nya sampai 12 peringkat," kata Faisal saat dihubungi, Kamis (19/6).
Penurunan pada indikator infrastruktur, menurutnya, masih tergolong moderat dengan penurunan lima peringkat. Namun justru aspek kelembagaan dan efisiensi operasional, baik di sektor publik maupun swasta dianggap memicu kekhawatiran pelaku usaha internasional.
"Problem terbesar di 2025 itu adalah ketika memasuki pemerintahan yang baru, sepertinya investor, pelaku usaha internasional melihat memang ada permasalahan dalam hal efisiensi, dalam hal kelembagaan di Indonesia dengan pergantian pemerintahan yang dicitrakan atau dipersepsikan memang lebih buruk dibandingkan dengan kondisi tahun yang lalu di bawah pemerintahan yang lama," kata Faisal.
Menurutnya, ini perlu menjadi bahan introspeksi dan evaluasi serius bagi pemerintah. Lemahnya persepsi terhadap efektivitas kebijakan dan kelembagaan dapat berdampak langsung pada iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Faisal juga menekankan perbaikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga dunia usaha. Namun demikian, banyak aspek efisiensi di sektor bisnis sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan negara.
"Kalau masalah responsiveness tentu saja yang pertama dari pemerintah dulu yang harus memperbaiki diri. Nah, bisnis sendiri juga tentu saja harus tetap melakukan introspeksi terhadap kondisi yang ada," ujar Faisal.
Jika pemerintah mampu memperkuat kelembagaan yang lebih solid, responsif, dan efektif, maka efek positifnya akan menjalar ke sektor swasta. Hal ini menjadi penting, terutama di tengah lesunya pertumbuhan investasi sepanjang kuartal pertama tahun ini.
"Ini juga tercermin dari bagaimana rendahnya juga tingkat realisasi investasi kita di 3 bulan pertama 2025 yang hanya bertumbuh sekitar 3% dan tidak sampai 4%, lebih rendah dibandingkan catatan historis sebelum-sebelumnya. Apalagi dibandingkan prapandemi yang bisa di atas 5% pertumbuhan investasinya," pungkas Faisal.
Dengan catatan itu, CoRE menilai momentum awal pemerintahan baru harus dimanfaatkan untuk merebut kembali kepercayaan investor, melalui perbaikan tata kelola, pemangkasan birokrasi, serta pemberian kepastian hukum dan arah kebijakan ekonomi yang konsisten dan kredibel. (Mir/M-3)
PENELITI dari Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, menegaskan bahwa keberadaan premanisme dan ormas meresahkan sangat berpotensi mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Lamongan menyatakan kesiapannya dalam hal infrastruktur investasi. Iklim investasi yang baik akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
GRUP perusahaan Korsel yang tergabung dalam Federasi Industri Korea (FKI) menyampaikan rencana mereka menambah nilai investasi US$1,7 miliar atau setara dengan Rp30 triliun
Perbaikan iklim investasi di Indonesia guna menarik dan mempertahankan kehadiran investor. LG Energy Solution (LGES) mundur dari Proyek Titan pengembangan baterai kendaraan listrik
Pakar ekonomi syariah yang juga Wakil Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia Adiwarman Karim berpesan kepada investor untuk tidak hanya ikut-ikutan dalam berinvestasi atau berbisnis.
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, atau BI Rate di level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 dinilai sebagai langkah yang tepat.
Situasi global yang masih dan kian tak menentu patut diwaspadai. Perkembangan dari ekonomi dunia dan konflik Timur Tengah Iran vs Israel dinilai dapat memberi dampak ke perekonomian Indonesia.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mencatatkan defisit sebesar Rp21 triliun, setara 0,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir Mei 2025.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, masyarakat dan pelaku usaha diprediksi akan menghadapi berbagai tantangan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved