PELAKSANAAN program berbagi beban (burden sharing) antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) saat menghadapi pandemi covid-19 memberikan dampak likuiditas yang besar bagi perbankan.
Total dana pembelian Surat Berharga Negara (SBN) Rp1.104 triliun yang dijalankan dalam skema <i>burden sharing<p> sebagian besar masuk pada sistem perbankan. Dana-dana yang diperoleh dari pembayaran belanja oleh pemerintah beredar di masyarakat dan kembali pada sistem perbankan.
Jumlah uang beredar M2 dibandingkan PDB secara prosentase mengalami kenaikan sekitar 4% pada saat pelaksanaan program itu. Bila sebelum pandemi rasionya sekitar 39% , pada akhir 2022 rasio M2 terhadap PDB berada di kisaran 43,5%.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan kenaikan M2 yang kembali pada perbankan memberikan likuiditas yang baik bagi perbankan, terutama bank-bank besar. Sehingga mereka tidak kesulitan dalam mengelola penyaluran kredit.
"Itu juga yang menyebabkan di saat suku bunga acuan BI naik hingga 200 basis poin, perbankan tidak langsung meresponnya dengan menaikkan suku bunga. Sebab likuiditasnya longgar," kata Mirza dalam forum group discussion yang diselenggarakan OJK bersama redaktur media massa di Balikpapan,pekan lalu.
Saat ini rasio kredit dibandingkan simpanan atau LDR berada di kisaran 80%. Perbankan baru akan mengalami likuiditas yang ketat bila LDR telah berada di kisaran 92%. Karena likuiditas yang longgar, perbankan bahkan bisa memarkir dananya sementara di SBN sembari menunggu permintaan kredit datang. Kondisi yang ada saat ini merupakan kondisi yang nyaman bagi perbankan.
Dirut Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sunarso dalam kesempatan berbeda memaparkan pihaknya saat ini memiliki struktur biaya dana yang terbaik karena simpanan dana murahnya berada di atas 70%.
Sunarso menyatakan bahwa perbaikan di struktur pendanaan serta likuiditas yang longgar menyebabkan pihaknya tidak lagi mengakses penempatan dana pemerintah yang dilakukan melalui skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2021 lalu. "Kami saat ini pada posisi siap menyalurkan kredit karena likuiditas yang masih memadai," ujarnya.
Pasar Modal
Di pasar modal, penghimpunan dana melalui penerbitan saham perdana atau initial public offering (IPO) dari 15 emiten telah berhasil menghimpun dana Rp10,63 triliun. Tahun ini OJK mencatat dalam pipeline akan ada 45 IPO yang akan meraup dana dari investor sebesar Rp55,78 triliun.
Pada triwulan I 2023, relaksasi di pasar modal akan berakhir. Sebagai gantinya OJK akan menerbitkan aturan baru yang dapat dipergunakan sebagai acuan bila terjadi lagi situasi krisis.
Kepala Departemen Perizinan Pasar Modal OJK Luthfy Zain Fuady mengatakan bahwa sebenarnya OJK telah mengurangi secara bertahap relaksasi yang diberikan pasca pandemi covid-19.
"Mengenai pemberlakuan kembali symmetric auto rejection batas atas dan bawah, itu akan dilakukan juga secara bertahap. Melihat perkembangan yang ada," ujarnya.
Namun bila melihat dari data perdagangan yang ada selama ini, pergerakan saham yang menyentuh batas atas dan bawah auto rejection tidak terlampau banyak. Sehingga diperkirakan penyesuaian kembali ke aturan yang lama tidak akan menimbulkan guncangan. (Try/E-3)