POLEMIK tentang divestasi saham PT Vale Indonesia (PTVI) kembali mencuat setelah Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan rencana pemerintah mengakuisisi saham mayoritas perusahaan pertambangan ini.
Pengamat Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benyamin, mengatakan sebanyak 51% saham Vale Indonesia akan dikuasai oleh Indonesia. Ketentuan ini, jelasnya, menjadi syarat memperpanjang kontrak operator pertambangan di Indonesia, dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, menggantikan PP No 23/2010.
Padahal, menurut dia, PTVI selama ini dinilai sudah bekerja baik dan industri nikel tengah menjadi komoditas mineral primadona dunia. Namun, kesuksesan divestasi Freeport-McMoran pada 2018 lalu menjadi referensi baik pemerintah, apalagi publik menyambut positif.
Sejak diberlakukan pada 2020, tambahnya lagi, pemerintah melalui aturan IUPK seperti menyiasati pemindahalihan keuntungan sektor pertambangan. Sebelum ada IUPK, para operator pertambangan dipastikan memiliki saham mayoritas dengan durasi kontrak tambang hingga 30 tahun yang bisa terus diperpanjang.
Rezim IUPK, kata Gunawan, memberikan batasan pada praktik ini. Penambang pemegang KK yang telah menyelesaikan kontrak 20 tahun dari total 30 tahun izin penambangan yang diberikan harus mengurus perpindahan ke IUPK. Praktik ini mulai lazim dilakukan di negara berkembang, seperti Filipina, India, Ghana, dan Nigeria telah menerapkan sistem yang mirip.
"Melihat ke belakang, PTVI bukanlah perusahaan yang serakah dalam kepemilikan saham. Dari pencatatan bursa, semenjak 1980 sebenarnya PTVI yang saat itu masih bernama INCO menawarkan sahamnya ke Pemerintah Indonesia paling tidak sebanyak 2% melalui Bursa Efek Jakarta setiap tahunnya," terangnya.
Puncaknya pada 23 Agustus 1989, jelasnya, INCO mendapat arahan untuk menjual 20% sahamnya ke publik karena pada saat itu, Pemerintah Indonesia tidak berniat untuk membeli saham INCO. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Tambang No 1657/251/DJP/1989 yang saat itu masih bernama Departemen Pertambangan.
Kemudian, lanjut Gunawan, pada 2020, mengikuti pemberlakuan PP Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, PTVI telah mendivestasikan 20% sahamnya ke Pemerintah Indonesia melalui holding BUMN pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Baca juga: Erick Tegaskan BUMN Siap Perkuat Industrialisasi Pangan
"Melihat rekam jejak ini, PTVI terlihat bukanlah perusahaan yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia sebanyak-banyaknya dan merugikan masyarakat sekitar," terang Gunawan.
Selain itu, PTVI merupakan salah satu penambang yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Sustainalytics, lembaga pemeringkat dampak keberlanjutan perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham, dalam laporannya Juni 2022 menempatkan PTVI dalam kategori 'low risk' dengan skor ESG mereka berada di kategori 'strong'.
"Sustainalytics menjadikan PT Vale Indonesia memiliki rating ESG terendah kedua di dunia. Hal ini berbeda dengan perusahaan tambang yang dikelola pemerintah melalui BUMN. Dalam laporan yang sama, Aneka Tambang dan Bukit Asam berada dalam kategori 'high risk',” lanjutnya
Dia mengatakan laporan itu membuktikan komitmen besar dari PTVI untuk menjaga kelestarian lingkungan di kawasan sekitar daerah penambangan mereka.
Dia menambahkan kesan baik juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam kunjungannya ke Blok Sorowako pada November 2022 silam. Seperti diliput berbagai media nasional, Menteri Luhut terkagum dengan keindahan Danau Matano yang berada di jantung operasi pertambangan nikel karena asri dan bersih.
Gunawan mengatakan usaha menjaga kelestarian alam memerlukan keseriusan dan komitmen anggaran yang besar dari PTVI. Selama berpuluh-puluh tahun PTVI telah menyalurkan anggaran yang besar untuk terus menjaga kelestarian alam.
Dia mencontohkan saat ini PTVI membagi alokasi anggaran menjadi tiga bagian, yakni 22% untuk pra-penambangan dan konservasi, 53% untuk proses penambangan, dan 25% untuk pasca-tambang termasuk rehabilitasi.
Karena itu, siapa pun yang nantinya menjadi pemegang saham mayoritas dari hasil akhir proses divestasi PTVI, harus melanjutkan penerapan standar keberlanjutan yang telah dilakukan perusahaan ini.
"Jangan sampai karena hanya ingin berfokus pada produksi nikel dan keuntungan semata, masyarakat sekitar yang seharusnya diuntungkan malah dirugikan karena rusaknya lingkungan sekitar," tutup Gunawan. (RO/OL-16)