Untuk keseluruhan 2014, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 2,95% produk domestik bruto (PDB), lebih baik ketimbang defisit 3,18% dari PDB di 2013.
NERACA Pemba yaran Indonesia (NPI) pada 2014 mencatat surplus US$15,2 miliar. Berbalik dari kondisi defisit US$7,3 miliar pada 2013. Walakin, kondisi neraca migas yang sebagai salah satu komponennya, masih terbilang rawan lantaran defisitnya justru membengkak.
Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Hendy Sulistyowati mengatakan, secara umum, kinerja NPI membaik karena dipengaruhi defisit transaksi berjalan yang menurun, sementara surplus dari transaksi modal dan finansial cukup besar.
''Surplus NPI itu pada gilirannya mendorong kenaikan posisi cadangan devisa dari US$99,4 miliar pada akhir 2013 menjadi US$111,9 miliar di akhir 2014,'' ujar Hendy dalam diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati demikian, sisi neraca migas perlu mendapat atensi serius. BI mengesti masikan defisit neraca migas per akhir 2014 mencapai US$11,84 miliar. Adapun defisit neraca migas setahun sebelumnya ialah US$9,7 miliar. Lonjakan itu disebabkan ekspor migas turun lebih dalam ketimbang impornya. Hal tersebut merespons kondisi dewasa ini, yakni lifting migas nasional yang terus melemah, sementara kebutuhan di dalam negeri terus naik.
Catatan BI, kebutuhan domestik akan minyak kini mencapai 1,6 juta barel per hari.Adapun lifting berkisar 800 ribu barel per hari.
Meski begitu, otoritas moneter cukup optimistis defisit neraca migas akan membaik pada tahun depan. Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, tren harga rendah minyak dunia dan reformasi subsidi BBM oleh pemerintah dapat memperbaiki defisit neraca migas. Hal tersebut tecermin dari defisit neraca migas pada kuartal IV yang menyusut dari kuartal-kuartal sebelumnya.
Namun, ia pun mengingatkan ada kemungkinan impor masih akan terus meningkat.Pasalnya, kebutuhan BBM akan bertambah sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Mandek “Mungkin impor migas besar karena mumpung harga sedang murah, untuk stok cadangan. Jadi, meski harga turun, impor juga akan tinggi,“ komentar pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro terhadap tren defisit neraca migas.
Menurutnya, defisit transaksi migas hanya dapat ditekan dengan dua cara. Memacu produksi minyak nasional, serta konversi energi, terutama ke gas.
''Konversi merupakan salah satu variabel yang perlu dilakukan. Kalau dikonsumsi lebih banyak, otomatis konsumsi BBM bisa berkurang.Impor juga akan berkurang,'' kata Komaidi.
Sayangnya, program kon versi minyak ke gas di Indonesia bak jalan di tempat. Meski dicanangkan sejak 2007, belum tampak kemajuan berarti.
Dalam hal transportasi umpama, masyakarakat masih enggan menggunakan bahan bakar gas ketimbang BBM walau ada program bagi-bagi converter kit gratis. “Jumlah SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) belum memadai,“ tutur Komaidi.
Pekan lalu, Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmadja Puja bahkan mengatakan ada 12 SPBG yang tidak beroperasi. Alasannya beragam. Mulai dari tutup karena tidak menguntungkan, belum keluar izin operasi, sampai ditentang masyarakat sekitar. Padahal, jumlah SPBG se-Indonesia sebelumnya saja tidak lebih dari 43 unit.
''Yang izinnya belum keluar, sedang dibantu fasilitasi karena izin dari lingkungan masyarakat sulit,'' jelasnya.(Jes/Ant/E-2)