Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
DIREKTUR Eksekutif dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong agar aturan main perihal pasar karbon dituangkan secara spesifik di dalam Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Hal itu dinilai akan mendukung upaya target pengurangan emisi yang ditetapkan sekaligus mengoptimalisasi potensi keekonomian dari pasar karbon nasional.
Baca juga: Pelaku Ekraf AKI 2022 Sukses Bangun Jejaring dan Buka Lapangan Kerja
"Beberapa aturan yang perlu diatur adalah mekanisme pasar karbon sebagai komoditas atau bauran komoditas dengan efek. Apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin mengatur pasar karbon, bentuknya adalah bauran pasar komoditas dengan efek dalam rangka mempermudah perusahaan mencari pembiayaan ketika memiliki sertifikat karbon," ujar Bhima melalui keterangannya, Selasa (18/10).
Dia menambahkan, potensi pasar karbon di Indonesia sedianya terbilang cukup besar. Bahkan OJK memprediksi potensi dari kehadiran pasar dan perdagangan karbon di Indonesia dapat mencapai US$565 miliar, atau sekitar Rp8.475 triliun.
Potensi tersebut didukung pula dengan posisi Indonesia berada di peringkat ke 3 dunia dengan luasan hutan tropis sebesar 125 juta hektare atau sekitar 65% dari luas daratan yang ada dan diperkirakan dapat menyerap karbon sebesar 25 miliar ton karbon.
Bhima mengatakan, dalam beberapa kasus di negara lain, pasar karbon lebih diatur sebagai komoditas ketimbang efek. European Union Emissions Trading System (EU ETS), misalnya, merupakan pasar karbon pertama dan terbesar dunia yang telah menerapkan cap-and-trade system dengan basis pasar komoditas sejak tahun 2005.
Namun, selain menempatkan kredit karbon sebagai komoditas, beberapa studi turut mempertimbangkan penggunaan kredit karbon sebagai efek atau sekuritas. Seperti banyak jenis aset, pemilik kredit karbon dapat menggunakan kredit karbon sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan.
Dalam Pasal 24 RUU P2SK disebutkan, perdagangan karbon harus dilakukan dengan mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan/atau dengan perdagangan langsung. Adapun bursa karbon dimaksud merupakan sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon. Kemudian dalam Pasal 26 dipertegas pengaturan akan berada dibawah OJK.
"Jika kredit karbon akan ditempatkan sebagai komoditas, mengikuti benchmark negara-negara lain, maka pemerintah dapat segera melaksanakan perdagangan karbon melalui ekosistem perdagangan komoditas (bursa, kliring, dan kustodian) yang sudah tersedia di bawah pengawasan Bappebti," kata Bhima.
"Tapi tetap terbuka peluang koordinasi antara Bappebti dan OJK dalam mengkombinasikan alternatif pasar karbon sebagai komoditas dan efek. Sistem campuran yang inovatif sebenarnya sah-sah saja asalkan pembagian tugasnya cukup jelas," tambahnya.
Besarnya potensi pasar karbon membutuhkan berbagai infrastruktur penunjang termasuk keandalan sistem, pengawasan, hingga pengaduan sehingga pasar karbon dapat meningkatkan peran serta dari seluruh pelaku yang ingin terlibat dalam mendorong percepatan penurunan emisi karbon.
Selain itu, lanjut Bhima, dalam rangka mewujudkan infrastruktur pasar karbon yang ideal, pemerintah disarankan untuk memprioritaskan bursa komoditi yang sudah ada dengan berbagai alasan termasuk kapabilitas infrastruktur, serta level pengawasan yang memadai dibandingkan membuka peluang terhadap kemunculan SRO (Self-Regulatory Organizations) baru yang belum teruji efektivitas sistemnya.
"Peningkatan volume perdagangan pasar karbon pada bursa komoditi yang telah ada dapat membantu dampak positif yang lebih besar terhadap seluruh ekosistem perekonomian nasional," tuturnya.
Selama RUU PPSK masih dalam proses pembahasan, beberapa pasal yang langsung berkaitan dengan pasar karbon perlu dibahas secara mendalam, dengan melibatkan para ahli dan benchmarking dari negara yang telah sukses menerapkan pasar karbon. Di sisi lain, masalah koordinasi antar regulator menjadi kunci keberhasilan menjalankan pasar karbon.
Potensi pasar karbon yang cukup besar, namun belum tersedianya infrastruktur pasar karbon di dalam negeri, menimbulkan risiko perebutan pasar karbon di negara lainnya. Sebab, selama ini, menurut Bhima, beberapa perusahaan di Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon di bursa luar negeri.
"Sangat disayangkan, kalau potensi pasar karbon akhirnya lari keluar. Waktu untuk persiapan pasar karbon tidak banyak, maka diperlukan penguatan sinergi antar otoritas terkait untuk menyiapkan regulasi, mekanisme, hingga infrastruktur perdagangan yang dapat mendukung kondusifitas pasar karbon di Indonesia," pungkas dia. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved