Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Kemiskinan selalu menjadi isu krusial, termasuk di Indonesia. Dengan alasan itu, Indonesia terus berusaha menurunkan angka kemiskinan melalui Inpres Nomor 4 tahun 2022 untuk memastikan adanya penurunan kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan sampai hari ini tindak lanjut dari Inpres tersebut belum menunjukkan kemiskinan di Indonesia telah teratasi. Sebab standar kemiskinan yang dipakai pemerintah sangat rendah.
“Standar kemiskinan per Maret 2022 yang dipakai Pemerintah Indonesia adalah seseorang dengan pendapatan Rp505 ribu per bulan atau kurang. Jadi seseorang punya pendapatan Rp510 ribu per bulan tidak disebut miskin. Sementara Bank Dunia menstandarkan orang miskin bila pendapatannya US$ 2.15 per hari atau bila dirupiahkan sekitar Rp967 ribu per bulan. Jadi kalau pendapatan seseorang per bulan di bawah Rp967 ribu disebut Bank Dunia sebagai orang miskin,” kata Timboel kepada Media Indonesia, Senin (10/10).
Jika mengacu pada standar kemiskinan Bank Dunia, Timboel mengatakan data warga miskin di Indonesia menjadi bertambah 13 jutaan orang. “Membandingkan standar kemiskinan antara Rp505 ribu per bulan versus $2.15 per hari, sebenarnya yang lebih menghargai kemanusiaan itu Bank Dunia, dibandingkan Pemerintah Indonesia,” kata Timboel.
“Apa ya yang menjadi ukuran Pemerintah Indonesia sehingga menetapkan standar kemiskinan Rp505 ribu per bulan? Kalau penetapan Rp505 ribu itu, menurut versi Pemerintah, berarti pengeluaran minimum seseorang Rp505 ribu, dengan perincian sekitar 74 persennya untuk konsumsi pangan sementara 26 persennya utk non pangan. Apakah benar dengan 74 persen dari Rp505 ribu memang bisa dianggap cukup untuk pangan bagi orang miskin?” tambahnya.
Di tengah gegap gempita dalam Presidensi G20 kemarin, Timboel menilai standar kemiskinan Indonesia di angka Rp505 ribu per bulan menjadi kontradiksi terhadap jargon ‘Recover Together, Recover Stronger. “Dengan fakta ini, saya kira kampanye No one Left Behind hanyalah isapan jempol belaka,” tandasnya.
Hal serupa juga disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. Ia meminta untuk meninjau ulang tentang batas garis kemiskinan di Indonesia. Bukan hanya karena Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$1,9 menjadi US$2,15 per kapita per hari, namun harus pula dilihat juga kenyataannya di masyarakat.
“Banyak masyarakat yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk hidup. Apalagi dengan terjadinya lonjakan inflasi saat ini di mana harga-harga kebutuhan makanan atau kebutuhan pokok menjadi naik. Maka batas garis kemiskinan Rp505.469,00 per kapita per bulan ini menjadi tidak relevan,” ujar Anis.
Dengan demikian, Anis mengatakan bahwa lonjakan inflasi yang terjadi membuat standar hidup jadi meningkat. “Sehingga semakin banyak masyarakat yang rawan masuk ke dalam kategori miskin ekstrim,” pungkas Anis. (OL-12)
Langkah ini tidak hanya mendekatkan pengolahan sampah ke sumbernya, namun juga berkontribusi dalam mengurangi beban TPA dan mendukung ekonomi sirkular.
Pemerintah memastikan tidak akan mengadopsi data kemiskinan yang dirilis Bank Dunia.
AWAL April 2025, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan pada tahun 2024 lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Di balik status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, Bank Dunia mengungkapkan fakta mencengangkan: 60,3% dari total populasi Indonesia hidup dalam garis kemiskinan
Indonesia diproyeksikan hanya memiliki pertumbuan ekonomi rata-rata 4,8% hingga 2027. Adapun, rinciannya adalah 4,7% pada 2025, 4,8% pada 2026, dan 5% pada 2027.
Reformasi struktural untuk mempercepat pertumbuhan produktivitas, di samping kehati-hatian fiskal dan moneter, merupakan kunci untuk memajukan agenda pertumbuhan pemerintah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved