Ekonomi digital Indonesia diperkirakan tumbuh menjadi US$146 miliar pada tahun 2025. Adapun kontributor terbesar diperkirakan melalui e-commerce dan online travel (OTA)
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia banyak dibantu oleh industri keuangan dan ekonomi digital. Konsep yang digunakan oleh banyak startup yang berkembang adalah mengintegrasikan dari teknologi digital.
Menurut peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana ,penggabungan layanan digital antara dua platform akan menghasilkan ekosistem bisnis yang sehat.
“Secara bisnis, model kolaborasi ini menguntungkan karena memperbesar ceruk pasar, sekaligus mendongrak pendapatan dari ecommerce ini. Selain itu, model bisnis E-commerce dan OTA ini adalah berbasis teknologi digital, maka otomatis juga akan mendongkrak geliat ekonomi digital di Indonesia dan menjadi sesuatu yang baru dan luar biasa, ujar Andri.
Di Indonesia sendiri, beberapa perusahaan sudah mulai mengimplementasikan skema bisnis ini. Misalnya dua perusahaan rintisan milik grup Djarum, Blibli dan tiket.com. Di bawah naungan GDP Venture, Blibli bersinergi dengan tiket.com menggabungkan ekosistem e-commerce dan OTA.
“Melalui integrasi layanan e-commerce dan online travel agent, pengguna bisa menggabungkan keanggotaan dari kedua aplikasi untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari pemenuhan kebutuhan harian dan gaya hidup,” kata CEO dan Co-Founder Blibli, Kusumo Martanto dalam keterangan tertulisnya
Akhir tahun lalu, Blibli bahkan telah mengakuisisi mayoritas saham PT Supra Boga Lestari Tbk. (RANC) untuk memperkuat ekosistem omnichannel di sektor e-groceries.
“Kolaborasi ini menjadi momentum bagi Blibli dalam percepatan dan penguatan omnichannel kedua entitas dalam mengembangkan layanan groseri,” terang Kusumo dalam kesempatan terpisah.
Meski potensi yang besar Andri kembali mengingatkan ada tiga tantangan yang perlu diwaspadai sekaligus kesempatan oleh para startup ini.
Pertama pendanaan dari asing mulai selektif karena ada resesi di negara-negara luar, pola bakar uang dengan memberikan promo menarik sudah tidak menarik bagi mereka. Namun di lain pihak, konsumen lebih memilih berbelanja dengan harga yang lebih murah. Ketika promo berkurang, permintaan dari masyarakat juga menurun.
"Bagi perusahaan yang tidak bergantung kepada pendanaan dari luar negeri akan menjadi kesempatan bagus," pungkasnya. (RO/E-1)