MENTERI Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menuding investasi pasar karbon global belum adil diterapkan. Ini disampaikan saat menghadiri sesi panel diskusi World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2022 bertajuk "Unlocking Carbon Markets" di Davos, Swiss, Senin (23/5).
Menurutnya, harga jual beli kredit karbon (carbon credit) yang umumnya berasal dari proyek-proyek hijau yang bersumber dari negara maju diklaim jauh lebih mahal dibandingkan dari negara berkembang.
Baca juga: Mengendalikan Inflasi, BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan
"Negara berkembang belum punya cukup kapital untuk melakukan investasi hal ini. Karena itu kita butuh kolaborasi yang baik. Kami ingin melahirkan produk yang hijau, tetapi kita juga ingin suatu kolaborasi yang saling menguntungkan dalam rangka investasi,” ungkap Bahlil dalam rilis resmi, Selasa (24/5).
Ia menjelaskan bahwa Presiden RI Joko Widodo memiliki komitmen untuk memasuki era zero emission pada 2060 mendatang, yang akan mulai dilakukan secara bertahap. Bahlil pun mengajak para investor untuk datang ke Indonesia berinvestasi dalam bidang energi terbarukan.
“Saya undang teman-teman yang melakukan investasi ini. Seluruh perizinannya kami urus dengan perhitungan yang win-win. Tidak boleh ada standar ganda menurut saya. Harus fair, harus terbuka,” janji Bahlil.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa salah satu fokus pemerintah Indoenesia saat ini yaitu mewujudkan ekosistem industri hilirisasi, salah satunya pengembangan industri baterai listrik.
Menteri Investasi menegaskan, hal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan membentuk tata kelola lingkungan yang baik.
Di satu sisi, Bahlil menyebut, pemerintah Indonesia telah melakukan pengelolaan kebun sawit dengan memerhatikan rekomendasi dari global, seperti memberlakukan moratorium penebangan hutan untuk menjadi kebun sawit.
“Pada saat kita melarang ekspor sawit, dunia berteriak. Kita begitu baru menyetop sedikit ekspor batu bara dunia juga teriak. Jadi saya katakan tak boleh ada standarnya. Seluruh dunia sudah merdeka, tidak bisa lagi ada menyatakan dia lebih hebat dari negara lain," tegas Bahlil. (OL-6)