Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Pengamat UI: Lebih Baik Pemerintah Dorong Kualitas Layanan Operator

Mediaindonesia.com
19/3/2022 13:17
Pengamat UI: Lebih Baik Pemerintah Dorong Kualitas Layanan Operator
Sejumlah warga berkumpul di satu tempat untuk bisa berkomunikasi menggunakan telepon genggam di Pulau Miangas, Kabupaten Talaud, Sulut.(Antara/Adwit B Pramono.)

MASYARAKAT perseorangan maupun perusahaan sebagai pengguna jasa telekomunikasi sering kali mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Hal tersebut mulai dari kualitas jaringan yang naik turun sehingga kadang membuat jengkel di saat yang dibutuhkan sampai masalah keamanan data pengguna.

Masalah-masalah yang sering muncul itu bukan semata-mata karena kesalahan industri telekomunikasi. Namun, karena kebijakan publik di sektor telekomunikasi hingga saat ini tidak cukup mendukung pengembangan industri dan layanan telekomunikasi yang memadai. "Ini sudah terjadi sejak lama mulai UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disahkan. Meski butuh waktu, yang pasti UU Telekomunikasi mesti diubah," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) sekaligus Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Riant Nugroho, dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/3).

Riant memaparkan selama ini pemerintah sebagai regulator tidak mengarahkan operator agar komitmen memberikan pelayanan yang bermutu. Peraturan yang ada justru menegaskan bahwa jika ada pelayanan yang tidak bermutu, operator wajib membayar denda kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo. Selanjutnya ini menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Kominfo. "Kebijakan ini justru keliru. Terlihat sekali kalau kebijakan Kementerian Kominfo cenderung memperbesar PNBP daripada meningkatkan kualitas pelayanan publik," ulasnya.

Mantan anggota BRTI itu memberikan gambaran terkait denda tersebut. "Misalnya, jika upaya untuk meningkatkan pelayanan diperlukan anggaran sebesar Rp100, sementara jika terjadi kesalahan dengan tidak memberikan pelayanan bermutu dikenakan denda cuma Rp 10, tentu saja operator akan lebih memilih membayar denda daripada memperbaiki layanan. Itu yang terjadi hingga saat ini," ujarnya.

Melihat kondisi yang terjadi seperti itu, lanjut Riant, bukan berarti tidak ada desakan untuk memperbaiki UU Telekomunikasi. RUU Telekomunikasi yang baru telah disiapkan pada periode 2012-2013. Pada RUU tersebut diusulkan untuk mendukung perbaikan pada tiga sektor, yakni industri telekomunikasi, pemerintah, dan masyarakat sebagai konsumen. "RUU ini untuk memperbaiki UU Telekomunikasi lama yang hanya fokus pada satu pilar, yakni pemerintah. Dua pilar lain tidak tegak berdiri sehingga bangunan telekomunikasi tidak bisa berdiri tegak alias miring. Ini yang kita hendak tegakkan dengan memperkuat tiga pilar tersebut," ujarnya. "Sayangnya, entah kenapa RUU yang ada di Kominfo tersebut tiba-tiba lenyap dan diganti dengan naskah yang baru, yang berbeda sama sekali dengan naskah RUU yang telah kita siapkan."

Terkait banyaknya masalah yang terjadi di industri telekomunikasi, Riant menegaskan bahwa itu menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Menkominfo saat ini memiliki agenda yang sangat penting yakni menyiapkan kebijakan publik yang baru. Kebijakan ini harus bisa mengakomodasi berbagai persoalan di industri telekomunikasi saat ini maupun masa depan terutama dari sisi pelayanan industri telekomunikasi indonesia bagi pelanggan (masyarakat). Hal ini juga agar potensi ekonomi digital yang digadang-gadang hingga naik delapan kali pada 2030, yaitu Rp4.531 triliun, bisa tercapai.

Kebijakan tersebut juga harus bisa mengurangi beban-beban regulasi kepada pelaku industri telekomunikasi. Terakhir, meniadakan berbagai UPT di Kemenkominfo yang berpotensi bersaing dengan pelaku industri telekomunikasi. "Apapun alasannya, tidak bisa dibenarkan jika regulator sekaligus menjadi operator atau pemain," tandasnya.

Pada akhirnya, kata Riant, regulator telekomunikasi bukan hanya sekedar pelayanan karena regulasinya bersandar pada tiga dimensi. Pertama, memastikan industri tumbuh dengan sehat. Kedua, mengurangi regulatory charge. Ketiga, memberikan fasilitas dan dukungan agar pelayanan telekomunikasi semakin bermutu tinggi. "Ketiga dimensi tersebut harus tercakup dalam kebijakan yang baru yang lebih relevan," pungkasnya.

 

Dengan kebijakan publik baru tersebut diharapkan bisa menjaga ekosistem industri telekomunikasi, baik dari sisi dimensi kesehatan industrinya maupun pelayanan yang bermutu tinggi termasuk proses bisnisnya yang wajar. Diharapkan pula tarif telekomunikasi menjadi affordable, bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga berlaku untuk industri. "Yang tak kalah penting, layanan telekomunikasi itu dikaitkan dengan masyarakat bukan dikaitkan dengan PNBP kementerian," pungkasnya. (RO/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya