Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Ini Alasan Sopir Truk Tolak Kebijakan Zero ODOL

Abdillah M Marzuqi
11/2/2022 20:46
Ini Alasan Sopir Truk Tolak Kebijakan Zero ODOL
Ilustrasi(Antara)

KEBIJAKAN  Zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang akan diberlakukan pada Januari 2023 mendapati penolakan dari para sopir truk logistik. Penolakan itu didasarkan pada alasan. Mereka mengatakan tidak bisa bersaing jika menggunakan truk kecil. Selain itu penolakan juga kerap didapati dari ekspedisi maupun pabrik terhadap truk berukuran kecil.

“Kalau kita punya mobil pendek yang ukurannya hanya 6meter, para ekspedisi dan pabrik tidak mau terima. Mereka mintanya minimal ukuran 8 meter,” ujar sopir truk Adlan yang kesehariannya membawa truk dari Jakarta-Bali.

Adlan mengatakan pabrik tidak menerima mobil pendek. Penolakan terhadap truk kecil juga berdampak terhadap pendapatan para sopir. “Kalau mobil yang saya bawa kecil, saya susah mendapat order dan terpaksa harus nunggu lama di pangkalan. Itu sangat menghabiskan biaya. Parkir saja sehari 30 ribu, itu belum makan,” tuturnya.

Adlan juga membeberkan keberatan lain yang disebabkan banyak pabrik makanan ringan memberlakukan kubikasi dalam tidap pengangkutan.

“Jadi, kalau mobil kita pendek hanya berapa kubik saja yang bisa kita bawa. Dari hitung-hitungan ongkirnya tidak menutup untuk operasional dari Jakarta ke Bali. Biayanya habis untuk di jalan saja. Mereka juga biasanya enggak mau menerima kalau mobilnya pendek,” tandasnya.

Hal itu yang membuat sopir mengakali dengan memodifikasi truknya untuk bisa mendapatkan muatan. Menurutnya, pemerintah harus mengetahui kondisi para sopir di lapangan.

Sementara, para sopir truk juga masih harus menanggung kenaikan harga bearing dan ban saat ini yang melambung tinggi. Kondisi inilah yang menurut Adlan membuat para sopir truk menolak kebijakan Zero ODOL. Apalagi menurutnya, pemerintah malah mengizinkan produksi baru mobil-mobil long.

Sopir lain bernama Mustakim menceritakan pernah bangkrut karena hanya memiliki mobil-mobil yang ukurannya pendek. Muatan dari pabrik memakai ukuran tertentu untuk pengangkutan kertas tisu, makanan ringan, atau pun elektronik. Minimalnya 50 kubik.

“Mobil saya dulu itu cuma ukuran 6,7 meter. Saya menunggu muatan sampai 2 minggu saya baru muat. Waktu itu uang saya habis-habisan untuk menginap di Jakarta. Saya harus bayar parkir sehari 30 ribu dan itu belum termasuk makan, dan akhirnya saya bangkrut dan menjualnya,” tegasnya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya