Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DINAMIKA pergerakan pasar bergerak amat cepat akibat tekanan eksternal dan internal. Untuk itu, Head of Investment & Liabilities Bank Commonwealth Ivan Kusuma menyarankan agar investor tidak serta merta hanya fokus pada satu kelas aset.
"Sebagai investor, strategi perlu kita lakukan sebagai nasabah supaya hasil investasi optimal. Jangan pernah fanatik di satu kelas aset tertentu. Sebab yang namanya kelas aset saham itu pasti naik turun," kata Ivan, Selasa (25/1).
Berkaca pada 2019-2020, ketika covid-19 merebak, investor akan berlari ke kelas aset yang lebih risk off yaitu obligasi. Sedangkan ketika optimisme kembali di 2021, orang investasi ke kelas saham yang memiliki risk on. Dilanjutkan di awal Januari 2022, saat ada kepastian rencana The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga, saham sektor teknologi di bursa AS serempak tergelincir.
"Artinya perlu ada diversifikasi portofolio agar aman di segala kondisi," kata Ivan.
Suku bunga, inflasi dan penyebaran varian omikron tidak selalu menjatuhkan pasar modal. Omikron memang lebih cepat menyebar, namun tidak lebih mematikan dibandingkan varian delta, dengan tingkat kematian kasus lebih terkontrol.
"Artinya walaupun omikron penyebaran lebih cepat dan tidak mematikan namun bisa mengganggu perekonomian. Penyebaran ini harus sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kita pun masih harus wait and see satu dua minggu ke depan untuk melihat perkembangan kasus," kata Ivan.
Lalu terkait inflasi, baik market domestik dan global khawatir karena hasil pertemuan pertama The Fed di 6 Januari 2022, didapatkan kesimpulan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate dari sebanyak 2 kali menjadi 4 kali dengan fase dipercepat.
Tapi kita juga harus melihat ke skala yang lebih besar. Mandat The Fed adalah untuk menjaga inflasi AS terkendali di target 2 %. Sedangkan inflasi terpantau mencapai 7% (yoy) di Desember 2021. Itu sudah menjadi peringatan buat kenaikan di suku bunga The Fed. Di dalam negeri, kata Ivan pada akhirnya nanti, Bank Indonesia juga harus ikut menyesuaikan tingkat suku bunganya.
Inflasi selama ini meningkat, sebab ketika Covid-19 merebak masyarakat lebih banyak di rumah. Namun begitu ada pelonggaran, mereka langsung belanja banyak. Ini berdampak pada naiknya biaya produksi, yang sempat terjeda karena rantai pasok terganggu. Namun ketika mulai kembali, kemampuan produksinya tidak bisa langsung dengan kapasitas normal. Akibatnya, biaya naik, dan berdampak ke inflasi, terutama di AS.
Namun bila inflasi dan suku bunga AS naik, dampaknya tidak selalu berdampak negatif terhadap kelas aset. Ketika ketika inflasi AS naik, aset yang diuntungkan seperti komoditas yang bergerak sejalan dengan inflasi membuat harga barang lebih tinggi dan menaikkan profit. Begitu pun kredit perbankan, yang akan lebih besar marginnya karena bisa menaikkan suku bunga.
Demikian juga dengan obligasi yang akan terdampak, ketika inflasi dan tingkat suku bunga naik. Tapi ketika harga obligasi jadi tertekan turun, imbal hasilnya akan naik. Investor pun berburu imbal hasil yang menarik dan tinggi.
"Jadi walaupun di awal akan terimbas, namun setelahnya itu bisa menjadi kesempatan untuk membeli obligasi dengan harga murah," kata Ivan.
Dari IHSG, pergerakan 3 kondisi terakhir ketika The Fed menaikan suku bunga, tidak serta merta ambruk. Kenaikan suku bunga The Fed di 1999-2000, IHSG tumbuh minus 23% tetapi pasar saham AS meningkat 13%.
Namun pada 2004-2006 ketika Fed Rate naik, IHSG terapresiasi 95% dan indeks S&P naik 13%. Pada 2015–2019, ketika Fed Rate kembali naik IHSG melaju 47%, dan S&P500 naik 35%. "Maka tidak berarti kenaikan suku bunga AS berdampak buruk terhadap kelas aset saham," kata Ivan. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved