Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pengenaan PPN Sembako, Jasa Pendidikan dan Kesehatan Picu Inflasi

Despian Nurhidayat
10/6/2021 11:45
Pengenaan PPN Sembako, Jasa Pendidikan dan Kesehatan Picu Inflasi
Pedagang tertidur saat menunggu pembeli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/6/2021). PPN untuk sembako picu inflasi.(Antara)

EKONOM yang juga Direktur Eksekutif Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk sembako, jasa pendidikan dan kesehatan dorong laju inflasi tahun ini dan tahun depan.

“Meski pemberlakukan kenaikan tarif PPN tidak diberlakukan tahun 2021, namun rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako diluar kebutuhan karena takut harganya naik ulah PPN 12%, Potensi kenaikan inflasi 2021-nya berkisar naik 1% sampai 2.5%, sehingga inflasi 2021 bisa mencapai 2.18% sampai 4.68%,” ungkap dia dalam keterangan resminya, Kamis (10/6).

Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, Achmad menambahkan, kenaikan PPN 12% terhadap sembako dari produksi pertanian juga akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi.

“Kenaikan pajak PPN 12 persen terhadap sembako juga menyebabkan petani kecil makin miskin karena makin sulit menjual produknya disaat konsumen makin mengerem belanja imbas kenaikan PPN tersebut," tuturnya.

Achmad menyarankan, daripada pajak nanti menimbulkan inflasi di saat ekonomi masih lemah sebaiknya ide kenaikan PPN sembako, pendidikan dan kesehatan dibatalkan saja karena manfaatnya lebih kecil dibandingkan bahayanya.

Menurutnya, RUU KUP sebaiknya fokus kepada pemberlakuan pajak dari e-commerce dan perusahaan teknologi yang naik daun seperti TIK TOK China, Gojek, Google, Facebook dan Apple.

“Indonesia sebaiknya ikut G7 yang sudah menyepakati adanya pemberlakukan pajak yang lebih ketat terhadap perusahaan raksasa teknologi. Facebook yang memiliki instagram dan whatsapp menikmati keberlimpahan bigdata dari Indonesia, sementara pajak mereka masih rendah” ujar Achmad.

Perlu diketahui, pemerintah merencanakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kelompok bahan kebutuhan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

Sementara untuk kategori jasa, pemerintah akan mengenakan PPN pada 11 kelompok jasa yang saat ini masih bebas PPN. Salah satunya yaitu jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan prangko; jasa keuangan; jasa asuransi.

Achmad melihat pasar sembako Indonesia dan pasar retail sangat sensitif terhadap isu kenaikan harga akibat perpajakan ini. Pengusaha sembako dan retail mayoritas adalah pengusaha menengah kecil. Masyarakat kelas menengah kecil merasa RUU KUP ditargetkan untuk mereka padahal mereka sudah berkontribusi banyak untuk penerimaan pajak dan saatnya mereka menerima kelonggaran pajak disaat ekonomi sedang lesu.

“Sementara negara-negara maju G7 sibuk memburu kepatuhan pajak perusahaan multinasional raksasa di bidang teknologi dan informasi, sebaliknya di Indonesia memburu kelas menengah dengan kenaikan PPN sembako dan Jasa pendidikan, bila terpaksa tarif PPN final sembako cuku 1% saja," tegas Achmad.

Ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPn barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12%. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5%, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1%.

Achmad mempertanyakan aspek keadilan ekonomi dari rencana penerapan PPN sembako, pendidikan dan kesehatan tersebut.

“Kelompok kelas menengah atas yang pendidikan dan kesehatan di luar negeri mereka tidak terkena dampak rencana kenaikan PPN tersebut, sementara kelas menengah bawah yang belanja sembakonya, pendidikannya dan kesehatannya di dalam negeri malah yang paling terdampak dari rencana reformasi pajak tersebut. Di mana keadilan ekonominya jika begitu?," tegasnya.

Achmad menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menargetkan kelompok perusahaan teknologi global dan WNI berpendapatan top 1% yang masih menyimpan dananya repatriasinya di luar negeri. Patut diingat bahwa tax amnesty 2017 kemarin tidak diikuti dana repatriasi masuk ke dalam negeri dari target dana repatriasi Rp1000 triliun hanya terealisasi Rp147 triliun.

“Kelompok WNI berpenghasilan top 1% tidak semua ikut tax amnesty 2017 kemarin, bila audit pajak dilakukan terhadap kelompok WNI tersebut, pemerintah masih dapat tambahan penerimaan negara dari pemberlakuan sanksi sekitar 200% dari aset mereka," pungkasnya. (OL-13)

Baca Juga: Jangan Lihat Kualitas Produknya tapi Kegigihan Difabelnya



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya