Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kasus Kepailitan Ancam Industri Properti

Ihfa Firdusya
18/9/2020 16:15
Kasus Kepailitan Ancam Industri Properti
Permasalahan pailit yang mendera industri properti bisa merugikan dan berdampak signifikan pada konsumen.(Antara)

MARAKNYA kasus kepailitan yang menimpa sejumlah perusahaan pengembang properti nasional menambah persoalan baru di tengah pandemi covid-19. Sejumlah oknum diduga sengaja memanfaatkan situasi untuk meraup keuntungan pribadi atau mengusung kepentingan-kepentingan tertentu.

Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk 'memaksa' debitur menyelesaikan kewajibannya.

Cornel B Juniarto dari Hermawan Juniarto & Partners, member of Deloitte Legal Network, mengatakan maraknya kasus kepailitan menciptakan bahaya baru bagi industri properti nasional. Hal ini juga berdampak secara sistemik terhadap 175 industri ikutan dengan 30 juta tenaga kerjanya.

"Seberapa besar sih dampak kalau suatu perusahaan dipailitkan? Contoh kalau di Tbk, begitu pailit dia kan wajib menyampaikan keterbukaan informasi kepada otoritas. Coba bayangkan kalau saya konsumen pasti (panik) 'wah status saya seperti apa?' Apalagi belum serah terima," ungkapnya pada acara diskusi Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi yang disiarkan langsung CNBC Indonesia, Jumat (18/9).

Di sisi lain, Cornel berpendapat bahwa undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat 'pisau bermata dua'. Dia mencontohkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Menurutnya, keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi.

"Namun demikian, sebagai pijakan hukum, UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektivitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat," jelasnya.

Cornel mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, UU kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajbannya terhadap para kreditur.

Selain kerugian bagi developer properti, permasalahan pailit yang mendera industri properti juga bisa merugikan dan berdampak signifikan pada konsumen. Akibatnya, konsumen harus melalui jalan berliku dan panjang untuk mendapatkan kepastian haknya.

Praktisi hukum properti dari Lembaga Advokasi Konsumen, Erwin Kallo, menyebut fenomena ini sebagai 'lonceng' bahaya yang dampaknya merugikan banyak pihak.

Menurutnya, perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas. Pasalnya, kasus pailit acap kali ditunggangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu.

Di sisi lain, Erwin mengatakan bahwa konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit.

Hal ini karena konsumen bukan Kreditur Preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir ketika semua pihak telah terbayarkan. "Justru itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara," katanya.

Dan yang paling untung, katanya, adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7% di depan, apapun hasil akhir kepailitannya," jelasnya.

Dalam menghadapi tren dan fenomena kepalitan ini, Cornel dan Erwin sepakat bahwa revisi UU Kepailitan dan PKPU wajib diakselerasi oleh Pemerintah dan DPR. Menurut keduanya, revisi UU Kepailitan dan PKPU diharapkan mampu menjaga dan melindungi industri properti termasuk konsumen dan developer dari ulah para oknum. (Ifa/S-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cri Qanon
Berita Lainnya