Sri Mulyani Ungkap Alasan Lemahnya Serapan PEN

M Ilham Ramadhan Avisena
20/8/2020 07:40
Sri Mulyani Ungkap Alasan Lemahnya Serapan PEN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan LKPP 2019 pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.(ANTARA/Dhemas Reviyanto)

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan lambatnya serapan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) lantaran setiap menteri harus memastikan secara mendetail kebijakan tersebut tepat sasaran. Sebab, nantinya penggunaan dana akan diaudit dan dimintakan pertanggungjawaban.

"Mengalirkan uang tidak sama seperti saat kita mengalirkan air ke toilet. Karena nanti akan ada yang mengauditnya, kemana uang itu dikirim, kepada siapa, berapa nomor rekeningnya. Jadi ini berbicara tentang data dan kita harus memiliki data terbaru dan itu berkaitan dengan sistem penyerapannya. Apakah itu melalui perbankan, melalui kantor pos atau cara lainnya," tuturnya dalam webinar bertajuk Reimagining the Future of Indonesia's Economy, Rabu (19/8).

Hal itu, lanjut Sri Mulyani, mengharuskan adanya pola kerja yang berubah. Tiap menteri terkait dalam program PEN harus memastikan adanya pembaruan data dan beradaptasi dengan situasi terkini di tengah pandemi.

Baca juga: Kementan Gaungkan Diversifikasi Pangan ke Seluruh Indonesia

Setidaknya, dalam 3 bulan terakhir, hal itu menjadi tantangan luar biasa yang dihadapi para pembantu Presiden.

Belum lagi, imbuh Sri Mulyani, beberapa menteri merupakan sosok baru di dunia birokrasi dan itu menjadi salah satu kendala dalam penyerapan anggaran PEN.

"Tanpa harus menyebut siapa nama menterinya, beberapa menteri di kabinet kali ini merupakan wajah baru. Saya selalu berpikir mereka akan sama seperti saya, tapi nyatanya tidak. Mereka benar-benar baru dan belum pernah menjadi menteri sebelumnya, tidak pernah bekerja dalam birokrasi. Ini yang benar-benar menjadi tantangan bagi kami," ketus mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Kendati demikian, persoalan lemahnya serapan anggaran stimulus dan bantuan pemerintah juga menjadi hal yang dihadapi tiap negara saat ini. Persoalan data dan pola birokrasi lama turut menghambat aliran dukungan yang diberikan pemerintah.

"Apa yang saya coba katakan adalah, saat ini, seluruh menteri diminta melihat jauh lebih mendetail ke hal yang lebih kecil. Apa yang kamu bisa lakukan untuk menyerap uang tersebut," imbuh perempuan yang karib disapa Ani itu.

"Bila presiden meminta agar semua itu terserap di bulan ini misalnya, semua menteri harus melihat jauh lebih detil lagi. Kami bekerja 24 jam dalam sehari sekarang. Kami berkerjaran dengan waktu untuk memastikan melihat lebih detil dalam menjalankan kebijakan," sambungnya.

Di kesempatan yang sama, ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhamad Chatib Basri mengungkapkan, lemahnya serapan anggaran PEN karena banyak birokrat trauma dalam menyerap anggaran secara cepat.

"Saya harus mengatakan ini, saya yakin masalahnya karena banyak pejabat pemerintah itu trauma," tuturnya.

Hal itu menjadi salah satu permasalahan struktural yang saat ini dialami pemerintah. Kecepatan dan ketepatan diakui menjadi hal yang sulit dilakukan secara bersamaan lantaran data yang dimiliki belum sepenuhnya benar.

"Ketika Anda mau melakukan keduanya itu sangat sulit. Tapi pejabat pemerintahan itu punya risiko besar. Jika bantuannya tidak tepat sasaran BPK, KPK akan datang, Kejaksaaan akan datang. Padahal mereka melakukan itu untuk mencairkan anggarannya. Tapi ketika mereka menyesuaikan semua birokrasi di pemerintah, itu akan sangat lama. Jadi itu adalah masalah struktural," jelas Chatib.

Hal lain yang menjadi penghambat ialah persoalan teknis dalam menyerap anggaran. Chatib bilang, tekanan akibat dampak pandemi covid-19 mengharuskan pemerintah membuat program secara cepat guna memuluskan penyerapan.

Itu dinilai berat lantaran pemerintah perlu berpikir di luar kebiasaan dan menuntut kreativitas secara cepat. Di samping itu, perlu dipastikan pula program yang dibuat tepat dan sejalan dengan tujuan utama pemerintah yakni menanggulangi masalah kesehatan dan memulihkan ekonomi.

"Tidak akan selalu mudah untuk menciptakan kebijakan dalam waktu yang singkat. Contohnya, ketika saya memberi Anda uang Rp10 triliun, Anda harus mencairkannya untuk memberikan ke masyarakat. Bagaimana Anda merancang programnya? Nah itu tidak mudah," tuturnya.

"Saya mau katakan, ketika kita bicara kebijakan, kita tidak bicara teori. Akan sangat berbeda ketika Anda berbicara sebagai seorang akademisi di Universitas. Public policy, kita sebagai regulator yang dikelilingi oleh third-base birocracy. Jangan terlalu berharap dengan ideal word," pungkas Chatib. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya