Menkeu Imbau Industri Keuangan Syariah Waspadai Dampak Covid-19

M. Ilham Ramadhan Avisena
23/7/2020 23:10
Menkeu Imbau Industri Keuangan Syariah Waspadai Dampak Covid-19
Ilustrasi perbankan syariah(Antara/Abriawan Abhe)

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengimbau agar industri keuangan syariah turut waspada atas dampak pandemi covid-19. Itu berkaca dari gejolak yang terjadi di pasar modal keuangan syariah dan sektor perbankan syariah pada saat pandemi merebak di Tanah Air.

Sri Mulyani bilang, pada awal Maret 2020, Jakarta Islamic Index (JII) sempat terkoreksi cukup dalam ketika kasus covid-19 pertama diumumkan di Indonesia. JII sempat terkoreksi hingga 6,44% dan levelnya berada di bawah 400 sebelum akhirnya kembali pulih pada awal April.

Menurutnya, stabilitas pertumbuhan modal pasar syariah sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan dan pemulihan industri syariah, khususnya industri takaful dan asuransi syariah.

"Industri takaful sangat banyak mengelola investasinya di pasar modal syariah. Dengan demikian terjadi koreksi yang tajam akan mempengaruhi pengelolaan dana di industri takaful tersebut. 82,3% atau Rp39,8 triliun dari industri takaful diinvestasikan di beberapa instrumen sepeti saham syariah, sukuk dan reksadana," jelasnya dalam diskusi secara virtual, Kamis (23/7).

Dampak buruk dari pandemi covid-19, lanjut Sri Mulyani, juga dirasakan oleh sektor perbankan syariah. Padahal perbankan syariah pada 2019 berhasil memiliki pertumbuhan double digit dengan market share di atas 5%.

Baca juga : BI Sebut Pertumbuhan Negatif Bisa Lanjut ke Triwulan III

Hal itu, kata perempuan yang karib disapa Ani tersebut, kemungkinan akan mengalami penurunan signifikan di 2020 karena pandemi. Sebab, penyaluran perbankan syariah mayoritas disalurkan kepada sektor yang bukan merupakan lapangan usaha.

Misal, pada 2019 penyaluran perbankan syariah kepada pemilik rumah tinggal mencapai Rp83,7 triliun dan pemilik peralatan rumah tangga lainnya termasuk multiguna sebesar Rp55,8 triliun. Kemudian diikuti oleh sektor lapangan usaha seperti perdagangan besar dan eceran mencapai Rp37,3 triliun, konstruksi Rp32,5 triliun dan industri pengolahan sebesar Rp27,8 triliun.

"Saat ini perbankan syariah harus memulai revisi target pertumbuhan, sama seperti perbankan yang lain. Selain itu, karena ada peningkatan risiko akibat pandemi dan merosotnya kegiatan akibat pandemi, ini tidak saja mempengaruhi untuk memberikan pembiayaan. Kenaikan risiko dalam NPL/NPF akan menentukan apakah bisa bertahan atau bangkit kembali," tutur Ani.

Munculnya peningkatan risiko tersebut tak luput dari adanya pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi demi menekan penyebaran pandemi covid-19 yang kian hari justru meningkat.

"PSBB menyebabkan turunnya kegiatan yang disebutkan tadi. Risiko tersebut dihadapi perbankan secara umum dan syariah tentu harus diwaspadai. Risiko peningkatan kesulitan likuditas, penurunan aset keuangan, penurunan profitabilitas dan risiko pertumbuhan perbankan syariah yang melambat atau bahkan negatif," pungkas Ani. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya