Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

New Normal, Pabrik Rokok Minta Pemerintah Jangan Naikkan Cukai

Usman Kansong
24/6/2020 18:28
New Normal, Pabrik Rokok Minta Pemerintah Jangan Naikkan Cukai
Petani menyemprotkan pestisida untuk tanaman tembakau di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019).(Antara)

PABRIK rokok berharap pemerintah tidak menaikkan cukai rokok di masa pemulihan industri pascapandemi virus korona atau covid-19.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menuturkan, pandemi covid-19 diprediksi membuat penjualan rokok merosot.

"Pada 2020, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan 2019 atau sekitar Rp165  triliun, sementara penurunan volume produksi dari industri hasil tembakau (IHT) akan turun 13-23%. Di tengah kenormalan baru,  kami berharap pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang justru menghambat recovery industry seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012," kata Henry .

Baca juga: Tidak Terpengaruh Korona, Petani Tembakau Temanggung Mulai Tanam

Dia mengungkapkan itu dalam webinar Bincang  Komoditas  Perdagangan Indonesia yang difasilitasi oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD)  UGM.

Webinar itu dihadiri oleh berbagai pengambil kebijakan antara lain Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Perindustrian, Gappri, dan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI).

Henry berharap pemerintah membantu untuk menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan baik secara kualitas, kuantitas, varietas dan kontinuitas.

Baca juga: Komnas Pengendalian Tembakau Dorong Larangan Vape

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menyatakan, klaim pengenaan cukai  bisa menurunkan prevalensi perokok anak dan konsumsi makanan yang berisiko kesehatan dianggap tidak tepat sasaran.

"Hendaknya pemerintah tidak melihat isu kesehatan secara sempit. Justru yang harus dikuatkan adalah peningkatan pengawasan dan penegakan disiplin atas distribusi dan akses masyarakat terhadap  produknya," kata dia.

Menurut dia, yang perlu dilakukan adalah perbanyak edukasi, sosialisasi ke tingkat akar rumput agar konsumen paham produk tembakau hanya bisa dikonsumsi orang dewasa.

"Saya kira pemerintah sudah jelas mengatur di PP 109 Tahun 2012 untuk produk tembakau dan aturan ini sudah lebih dari cukup. Tugas selanjutnya adalah memastikan implementasi di lapangan berjalan tertib, jangan terus merevisi poin saja tapi praktiknya nihil," tegasnya.

Co Chairholder UGM-WTO Chair Program Maharani Hapsari menuturkan, sektor IHT kerap menjadi entitas yang harus menerima aturan restriktif dengan peluang yang sangat minim untuk dapat mengajukan keringanan.

Hal ini, sambung dia, terjadi karena dalam proses pembuatan kebijakan untuk IHT, ada banyak prosedur yang tidak transparan sehingga berpotensi pada praktik pelanggaran.

Seperti, kurangnya transparansi informasi kepada seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan dan ketiadaan proses partisipatif.

"Salah satunya berangkat dari studi kami yakni perumusan rencana revisi PP 109 Tahun 2012. Dalam hal ini, pelaku IHT tidak mendapat transparansi ketika membahas poin restriksi. Faktanya, sampai saat  ini, belum  benar-benar ada kata  mufakat di antara stakeholders yang  berkepentingan, seperti  BPOM,  Kementerian  Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, komunitas rantai pasok IHT, dan Kementerian Perindustrian," tutur Maharani.

Maharani menyampaikan, di tengah berbagai himpitan yang menimpa IHT,  pemerintah harus mulai proaktif dalam mendengarkan banyak suara dari berbagai pihak. Terlebih di momen kenormalan baru pemerintah perlu mempercepat proses pemulihan industri untuk menopang ekonomi  nasional. (X-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya