Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

KAGAMA Inkubasi Bisnis Seri VIi Bahas soal Brand dalam Bisnis

Ghani Nurcahyadi
25/1/2020 15:00
KAGAMA Inkubasi Bisnis Seri VIi Bahas soal Brand dalam Bisnis
KAGAMA Inkubasi Bisnis seri VII(Dok. KAGAMA)

PENGURUS Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP KAGAMA) menyelenggarakan program KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) dengan tema ‘Smart Branding: Kiat Mengelola Brand untuk Tingkatkan Profit.’ di Jakarta, Sabtu (25/1).

“KAGAMA Inkubasi Bisnis merupakan program rutin PP KAGAMA yang bertujuan meningkatkan kompetensi alumni UGM khususnya dalam aspek pengetahuan dan keterampilan bisnis,” ujar Direktur Eksekutif PP KAGAMA, Hasannudin M. Kholil dalam keterangan tertulis.

Kegiatan itu ditujukan untuk alumni UGM yang berminat memulai bisnis maupun yang sudah memiliki usaha dan  ingin memperbesar usahanya.  

Untuk diketahui, KIB telah diselenggarakan sebanyak enam kali dengan berbagai topik bisnis praktis seperti trading saham, start-up business, HAKI, NLP, dan digital marketing.

“KAGAMA Inkubasi Bisnis seri VII ini fokus membahas kiat mengelola brand untuk tingkatkan profit dan memenangkan persaingan bisnis,” ujar Hasannudin, alumnus Fisipol UGM.

Baca juga : Kembangkan Bisnis Digital Security, Peruri Siapkan Capex Rp200 M

Hasanuddin menyebut, tema ini berangkat dari pertanyaan banyak orang khususnya para alumni UGM yang baru memulai usahanya.

Konsultan Revenue Branding, Silih Agung Wasesa yang jadi pembicara mengatakan, yang  mesti diketahui pemilik bisnis  adalah soal “brand vital sign.”  

Alumnus Fakultas Psikologi UGM iitu menyebut pemilik bisnis harus aware terhadap tanda-tanda kuat atau lemahnya brand.  

Sebab brand vital sign akan menjadi pijakan dasar setiap saat atas kerja keras kita membangun usaha. 

“Brand vital sign dibentuk  dari aspek kepatuhan (compliance) dan kontribusi (contribution),” ujar Konsultan Revenue Branding yang telah menangani beberapa brand global/lokal dan berfokus pada pembenahan revenue streaming tersebut.

Aspek kepatuhan adalah tidak melakukan hal yang keliru (don’t do the wrong thing) menyangkut integritas, kejujuran, hubungan personal, transparansi, keterbukaan, dan trust.  

Sementara aspek kontribusi adalah melakukan hal yang benar (do the right thing) menyangkut tujuan bisnis, perlakuan pada pegawai, saluran distribusi, dan inovasi produk. 

Lebih lanjut Silih menyampaikan tentang  skema brand vital sign.  

Pertama adalah character, bagaimana mensinergikan antara brand, finansial, dan profit dalam pengambilan keputusan. 

Kedua adalah convergence, bagaimana melakukan konvergensi antara karyawan, supplier, dan jaringan distribusi. 

Ketiga adalah experience, bagaimana membangun pola pengalaman konsumen. 

Setelah tiga langkah tersebut sudah dilakukan, baru dilakukan langkah keempat dan kelima yaitu  keempat, engineering, bagaimana  menerjemahkan corporate brand value dan product brand value menjadi pesan kunci dan model penyampaian pesan.

Dan kelima, key performance indicator meliputi output (volume penjualan, jumlah produk, jumlah outlet) dan outcome (peningkatan profit dan cash-in-hand).

“Contoh dalam aspek experience, orang kalau baru buka warung bersedia menjadi kasir dan melayani pelanggan, namun ketika sudah punya tiga warung umumnya malas melayani pelanggan secara langsung. Padahal pelanggan itu senang ketika bertemu langsung dengan pemilik warung,” kata Silih  

Silih menegaskan aspek lain yang tidak kalah penting adalah soal unblocking consciousness. 

Baca juga : Iklim Bisnis Domestik Diprediksi Kondusif 12 Bulan Mendatang

Brand dapat berpengaruh efektif apabila pemilik brand mampu membuka pemikiran konsumen. Misalnya orang umumnya tidak merasa aman berlama-lama di SPBU. 

Akibatnya restoran di area SPBU tidak ramai. Untuk itu konsumen harus dibuka pemikirannya bahwa SPBU itu aman.

Lebih lanjut Silih mengatakan saat ini berkembang konsep religious economy yang dikembangkan di Amerika Serikat. 

Religious dalam hal ini bukanlah beragama dalam arti ritual. Namun religious dalam arti bahwa apabila sebuah bisnis atau usaha mampu memberi kebaikan kepada masyarakat, maka bisnis menjadi semakin berkembang. 

“Contohnya, mushalla di pusat perbelanjaan dengan lokasi dan kondisi yang baik akan membuat restoran atau pusat perbelanjaan menjadi lebih ramai,” pungkasnya. (RO/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya