Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
KEINGINAN masyarakat untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) sangat besar. Mereka bahkan rela membayar listrik lebih mahal bila bersumber dari energi yang bersih.
Secara spesifik, matahari dan bioenergi menjadi sumber EBT yang paling banyak dipilih dibandingkan energi terbarukan lainnya.
Kesimpulan itu didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia. Sementara survei yang dilakukan IESR di rumah tangga di Jabodetabek dan Surabaya juga memberikan hasil masyarakat menerima serta bersedia untuk melakukan pembelian listrik EBT, terutama solar cell, jika memang tersedia dan mudah didapatkan.
Secara rinci, Survei Koaksi terhadap 96.651 warganet menunjukkan sebanyak 23,8% responden memilih matahari sebagai sumber energi terbarukan dan 22,4% memilih bioenergi. Survei dilakukan melalui platform Change.org selama 40 hari selama Mei-Juli lalu dan disebarkan lewat surat elektronik, media sosial, dan platform percakapan di 34 Provinsi.
Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazila mengatakan, banyaknya partisipasi warganet menunjukkan tingkat kepedulian yang cukup tinggi pada isu energi terbarukan.
Baca juga : Pertamina Optimistis Capai Outlook Green Energy 2050
“Dan keinginan mereka untuk beralih ke energi terbarukan juga sangat besar. Bahkan 36,5 persen responden rela membayar listrik lebih mahal bila bersumber dari energi yang bersih,” jelas Nuly dalam keterangan tertulisnya.
Senada dengan itu, survei terbaru mengenai rooftop solar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) di Surabaya tahun ini serta di Jabodetabek tahun lalu, juga mendapatkan data bahwa mayoritas rumah tangga yang disurvei mengarah kepada ketertarikan terhadap penggunaan EBT terutama energi matahari.
“Dari hasil survei IESR terbaru, kami mendapatkan insight bahwa mereka memang mau dan ada keinginan serta menerima penggunaan EBT terutama solar cell. Dan mereka juga menyatakan mau membeli/membayar kalau disediakan,” tutur Gandahaskara Saputra, Koordinator Komunikasi.IESR.
Lebih lanjut, 44% responden Koaksi menyadari bahwa sektor energi terbarukan di Indonesia belum berkembang optimal. 19,7% berpendapat hambatan itu disebabkan oleh rendahnya pemahaman publik tentang energi terbarukan dan terkait ini, 23,5% responden mengaku mendapatkan informasi terkait EBT paling banyak dari media online.
Hambatan lain yang disebut adalah ketergantungan terhadap energi fosil yang masih tinggi (13,9%), sementara 13% lainnya menyoroti persoalan riset yang belum menjadi prioritas pemerintah kita saat ini.
Responden IERS yang menyatakan tertarik dengan solar cell, seperti dikatakan Ganda juga menyayangkan belum adanya informasi yang tersentral dan tersistem mengenai sumber EBT ini.
Informasi yang mereka butuhkan seputar plus minus listrik energi surya, proses dan cara pemasangannya, hingga preferensi pembiayaan yang memungkinkan untuk pengadaannya.
Namun walaupun informasi yang membahas EBT masih minim, responden Koaksi masih optimistis bahwa Indonesia mampu dan berpotensi mengembangkan energi terbarukan sesuai dengan kekayaan alam yang dimiliki, yaitu matahari (25,5%), air (20,6%), dan bioenergi (19,5%).
Baca juga : PLN Gandeng Indonesia Power Kelola Pembangkit EBT di NTT
Sedangkan pemangku kepentingan yang diyakini dapat melakukan perubahan ini adalah presiden dan kementerian (25,5%) serta kepala daerah (15,1%).
Tak sekadar berharap kepada pemangku keputusan, kaum milenial yang disurvei Koaksi juga berpendapat bahwa masyarakat umum memiliki peran penting dalam mengembangkan energi terbarukan.
Bagi mereka, menggunakan energi fosil lebih lama berarti menambah lama pula kerusakan lingkungan kedepannya. Oleh karena itu, mereka siap melakukan perubahan gaya hidup dengan melakukan aksi hemat energi.
“Kalau dikaitkan secara spesifik, milenial terutama keluarga baru yang mulai punya properti dan kendaraan sendiri, memang mulai mempertimbangkan opsi-opsi baru sumber energi. Seperti rumah yang dipasang rooftop solar, dan kendaraan listrik. Mereka bahkan berpendapat gaya hidup itu cool, dan trendy,” tambah Ganda.
Menurut milenial, begitu terungkap dari hasil survei Koaksi, EBT penting diadakan sebagai bentuk menjaga lingkungan karena jenis sumber energi ini ramah lingkungan, bebas polusi dan tidak merusak alam. (RO/OL-7)
PT Perkebunan Nusantara III, bersama Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), mengambil langkah strategis dalam transisi energi melalui pengembangan PLTS.
PRESIDEN Prabowo Subianto meresmikan sebanyak 55 pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tersebar di 15 provinsi, termasuk milik Medco.
Ketahanan energi merupakan salah satu prioritas utama dalam visi pembangunan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan.
PLTS diprediksi memberikan peluang lapangan kerja bagi lebih 350.000 pekerja, paling tinggi di antara sektor EBT lainnya.
Penelitian dan pilot project perlu digencarkan untuk menyesuaikan algoritma machine learning dengan kondisi geologi Indonesia.
Seluruh sumber energi untuk menghasilkan hidrogen masih berkaitan dengan bawah permukaan bumi .Geofisika menjadi salah satu disiplin ilmu yang dapat mengidentifikasinya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved