Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Tak Setuju Proyek Blast Furnace, Komisaris Krakatau Steel Mundur

Atikah Ishmah Winahyu
23/7/2019 16:05
Tak Setuju Proyek Blast Furnace, Komisaris Krakatau Steel Mundur
PT Krakatau Steel(MI/Rommy Pujianto)

KOMISIONER Independen Krakatau Steel Roy E Manungkas mengajukan permohonan pengunduran diri dari jajaran Dewan Komisaris pada 11 Juli 2019. Roy mengungkapkan permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait pengoperasian proyek blast furnace.

"Saya akhirnya tanggal 11 juli memutuskan untuk mengajukan surat permohonan pengunduran diri di Krakatau Steel. Saya langsung bawa suratnya ke Deputi dan Menteri (BUMN), kebetulan mereka waktu itu masih di New Zealand," kata Roy di kantor Kementerian BUMN, Selasa (23/7).

Pria yang sebelumnya berperan sebagai Ketua Komite Pengembangan Usaha dan Resiko Krakatau Steel tersebut menuturkan upaya ini dilakukan agar pihak Kementerian BUMN memberikan perhatian lebih terhadap kondisi proyek Blast Furnace yang tengah dijalankan Krakatau Steel.

"Terus terang saya menyampaikan surat permohonan pengunduran diri sekalian saya ingin tahu sebetulnya sejauh mana sih perhatian kementerian terhadap situasi ini," tuturnya.

Baca juga: Krakatau Steel tidak Perpanjang Kontrak Karyawan Alih Daya

Roy mengaku telah berkali-kali mengutarakan perbedaan pendapatnya kepada Kementerian BUMN dan jajaran Direksi Krakatau Steel.

"Surat yang keluar dari Dewan Komisaris untuk memperingatkan bahwa ini problem di kemudian hari nantinya, itu sudah disampaikan berkali-kali ke direksi maupun ke Kementerian BUMN mungkin tiga sampai empat kali, ke Board of Directors (BoD) udah tidak terhitung," terangnya.

Namun Roy mengklaim dissenting opinion yang diajukannya mendapat respon negatif dari pihak pemerintah. Padahal menurut dia, seharusnya pendapat tersebut dapat digunakan oleh kementerian untuk mencari tahu letak kesalahan dan solusinya.

"Anda punya proyek, saya ditugaskan untuk mengawasi, saya kasih tahu ada begini-begini, kok malah anda marah sama saya sih?" ujarnya.

Ada beberapa alasan yang membuat Roy tidak setuju dengan proyek tersebut. Salah satunya, Blast Furnace dipaksakan beroperasi, padahal bahan baku hanya cukup untuk pengoperasian selama dua bulan serta tidak adanya kepastian siapa yang akan bertanggung jawab terhadap proyek ini baik dari segi teknis maupun keuangan.

Selain itu, dia mengatakan, Dewan Komisaris telah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun teknologi untuk mengetahui keandalan, keamanan dan efisiensi proyek Blast Furnace, namun hingga saat ini tak kunjung dilakukan.

"Saya melihat disuruhnya berproduksi ini sangat dipaksakan. Pertama, keandalannya kita ragukan, kedua keamanan proyek ini juga kita ragukan karena sebenarnya syarat yang Dewan Komisaris minta, kita harus menunjuk konsultan independen yang mengerti proyek ini," ungkapnya.

Persiapan proyek Blast Furnace Krakatau Steel telah dimulai sejak 2011. Proyek yang baru beroperasi sekitar dua minggu tersebut menghabiskan dana sekitar US$714 juta atau setara Rp10 triliun. Roy menuturkan terjadi pembengkakan sebesar Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya sebesar Rp7 triliun.

Selain itu, harga pokok produksi (HPP) slab yang dihasilkan lebih mahal US$82 per ton jika dibanding harga pasar, sehingga diperkirakan perusahaan akan mengalami potensi kerugian Rp1,3 triliun per tahun.

"Saya sudah menyampaikan harga pokok produksi yang nanti dihasilkan itu lebih mahal US$82 per ton, which is kalau produksinya itu 1,1 juta ton per tahun, kita akan mengalami kerugian Rp1,3 triliun per tahun," tegasnya.

Sebagai informasi, proyek Blast Furnance yang penyelesaiannya molor selama 72 bulan ini nantinya akan menghasilkan hot metal sebagai bahan baku untuk membuat aneka produk.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya