BPKN Nilai Afiliasi Lippo dan OVO Indikasikan Monopoli

Dero Iqbal Mahendra
20/7/2019 10:15
BPKN Nilai Afiliasi Lippo dan OVO Indikasikan Monopoli
Ilustrasi(Medcom)

BADAN Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) menilai penggunaan aplikasi OVO sebagai alat pembayaran resmi di fasilitas umum yang dikelola afiliasinya yang bernaung di bawah Grup Lippo sebagai bentuk pemaksaan yang melanggar hak-hak konsumen.

BPKN juga menilai hal tersebut dapat merusak persaingan pasar yang sehat.

“Persoalan payment gateway yang mengharuskan parkir di satu tempat tertentu, seperti di pusat perbelanjaan dengan menggunakan aplikasi (pembayaran) terafiliasi seperti yang diduga dilakukan OVO dan Lippo, merupakan wujud monopli,” ujar Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak dalam keterangan pers, Sabtu (20/7).

Untuk menertibkan praktik-praktik yang mengancam persaingan usaha yang sehat tersebut, Rolas mengimbau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera turun tangan.

Menurut Rolas, selain Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), OJK memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar.

Baca juga: OVO: Bayar Parkir Pakai Aplikasi adalah Kebijakan Pengelola Mal

“Karena ini melibatkan Fintech,” tegasnya.

Di kesempatan yang berbeda, KPPU melihat, ada indikasi praktik bisnis yang kurang sehat yang dilakukan platform pembayaran yang juga terafiliasi dengan Grup Lippo tersebut.

“Penelitian oleh KPPU dilakukan di semua tempat parkir perbelanjaan,” ujar komisioner sekaligus juru bicara KPPU, Guntur S Saragih.

Oleh sebab itu, alasan pembayaran merupakan bagian dari ekosistem platform digital. menurut Guntur, tidak bisa dibenarkan.

Ia mengingatkan konsumen harus memiliki ruang untuk memilih penyedia jasa, karena pusat perbelanjaan merupakan tempat yang terbuka untuk umum dan bukan tempat yang hanya boleh didatangi pihak terbatas.

”Pusat perbelanjaan itu jatuhnya publik,” kata Guntur.

Bukan hanya itu, sekali pun Lippo dan OVO terafiliasi, memberikan kewenangan kepada OVO saja untuk mengelola metode pembayaran di lahan parkir pusat perbelanjaan milik Lippo juga seharusnya tidak diperbolehkan.

Pasalnya, hal itu menutup peluang terhadap pelaku lain yang memiliki layanan dan kemampuan seperti OVO.

KPPU, saat ini, masih melakukan penelitian lebih lanjut, mulai dari latar belakang sampai praktik yang terjadi melibatkan OVO di pusat perbelanjaan milik Lippo.

“Setelah ini baru meningkat ke penyelidikan,” ucap Guntur.

Hal senada diungkapkan Pengamat Transportasi dan Kebijakan Publik Universitas Trisakti Yayat Supriatna.

Dia berkesimpulan praktik monopoli dalam metode pembayaran pada jaringan perusahaan terafiliasi itu, membuka tabir bahaya monopoli di masa mendatang.

“Dimulai dari aksi jor-joran promo di layanan transportasi yang terafiliasi dengan OVO, itu hanya permukaan. Di balik itu, terjadi gurita paymen gateway yang disokong modal besar, seperti OVO. Memaksa seluruh konsumen menggunakan cara pembayaran tunggal, lama kelamaan pesaing mati, konsumen pun semakin ketergantungan,” ungkap Yayat. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya